Keluarga Rawikara : Chapter [1] Kebakaran di Rumah Jayantaka Rawikara
Sepuluh tahun belakangan kota ini tak punya kasus yang
menarik perhatian. Korupsi dan pencurian seperti makan siang, hampir selalu ada
setiap hari di media cetak dan online. Bahkan pihak kepolisian bisa
menerima laporan sambil minum kopi dan mengunyah kacang bawang. Namun, di tahun ini, muncul sebuah insiden
yang cukup menggemparkan. Empat orang anak dari keluarga Rawikara ditemukan
tewas terbakar di rumah mereka. Wartawan kembali menemukan semangat dalam
pekerjaannya setelah lesu berkepanjangan dalam meliput berita yang itu-itu
saja. Termasuk Ruth, wartawati 26 tahun yang lebih senang bekerja dari pada
memikirkan jodoh yang entah kapan datangnya.
Pukul 8 pagi, udara di sekitar lokasi kejadian masih
menunjukkan sisa-sisa asap kebakaran. Ruth dan seorang juru kamera memilih menjauhi
keramaian setelah mendapatkan beberapa foto yang diharapkan. Namun, mata bulat
Ruth terus waspada, memperhatikan beberapa polisi yang sedang meminta
keterangan pada para tetangga dekat. Ruth belum menangkap kehadiran Jayantaka,
pemilih rumah, pengusaha sukses, sekaligus ayah dari empat korban yang usianya
masih sangat muda. Berdasarkan informasi terakhir yang didapatkan, Jayantaka
masih berada di rumah sakit untuk menemani istrinya yang juga menjadi salah
satu korban selamat. Belasan tenaga medis mendapat akses masuk ke rumah setelah
petugas pemadam kebakaran memastikan bahwa api sudah benar-benar padam, lalu
mereka keluar membawa kantong-kantong jenazah dan memasukkannya ke dalam
ambulance yang sudah disiapkan. Sirine yang terus berbunyi membuat suasana
cukup mencekam.
“Mungkin aku akan lebih memilih mati bersama
anak-anakku dari pada harus kembali ke rumah dan terus trauma saat melihat
kamar tidur mereka.” seloroh Ruth dengan pandangan yang tak lepas dari rumah mewah
Jayantaka. Dewa mengangkat kepalanya sedikit, mata sipitnya tertuju pada gadis
di depannya, namun tangannya masih tetap sibuk membersihkan lensa kamera dengan
lap kain berbahan fiber. Sebagai seorang kameramen senior, mungkin kebakaran
semacam ini adalah kasus kesekian kali yang ia tangani, sehingga terlihat ekspresinya
yang nampak biasa saja. Berbeda dengan Ruth yang baru kali ini diberi jatah
meliput kebakaran. Ia sibuk berasumsi dan memposisikan diri jika hal itu
menimpanya. Seperti perempuan pada umumnya, Ruth kadang mendramatisir
liputan-liputan yang sedang ia kerjakan. Makanya, kantor mereka menunjuk Dewa
sebagai tandemnya. Sehingga Ruth tidak selalu berlarut-larut dalam menganalisa
setiap kejadian.
“Mas, mau taruhan, nggak?” tanya Ruth memecah suasana.
“Soal apa?” balas Dewa setelah melipat kain fiber lalu
memasukkannya ke dalam tas kamera.
“Ya, kasus ini.” jelas Ruth. “Coba bayangkan, mengapa hanya anak-anaknya
yang mati? Di mana orang tuanya saat kebakaran terjadi?” sambung gadis itu
lagi.
“Punya uang berapa mau ngajak taruhan? Gajimu saja
belum penuh dibayarkan kok ngajak taruhan?” ledek Dewa sambil mengulum senyum.
“Taruhan sama Mas Dewa nggak butuh banyak modal kalau
kalah. Diajak makan Nasi Padang samping kantor juga sudah puas. Ya, kan?”
seloroh Ruth.
Spontan telapak tangan Dewa mengeplak kepala gadis itu
pelan. Ruth cengengesan mendapat perlakuan semacam itu. Hubungan mereka bukan
lagi sekadar pekerjaan, mereka bersahabat cukup lama, selain sebagai seniornya
di kantor, Dewa juga seiornya di kampus. Bahkan pria 32 tahun itu yang
merekomendasikan Ruth pada pemimpin redaksinya, sehingga Ruth bisa bergabung
dengan kantor berita itu.
“Ruth, sepertinya polisi sudah santai, kita ke sana
sekarang?” tanya Dewa seraya mengarahkan pandangan Ruth pada kumpulan polisi
yang ingin mereka wawancara.
“Ok, Mas!” Gadis itu bangun dari posisi duduknya di
pembatas aspal lalu menepak-nepak celana jinsnya dari debu yang menempel.
Kemudian keduanya berjalan cepat menuju beberapa polisi yang terlihat sudah
menjauhi orang-orang yang dimintai keterangan.
Tak hanya mereka berdua, ada puluhan jurnalis yang juga ingin meminta
keterangan dari polisi, mereka saling berdesakan, adu cepat melontarkan
pertanyaan dengan nada suara cukup kencang. Polisi bernama Teguh itu mencoba
menjawab pertanyaan para wartawan satu per satu namun tetap belum semua bisa ia
sampaikan, karena masih panjang proses penyelidikan untuk kasus ini.
“Bagaimana keterangan dari para tetangga, Pak Teguh?”
tanya seorang wartawan yang posturnya paling tinggi di antara yang lain. Rambut
keritingnya sedikit menutup jarak pandang Ruth yang tinggi badanya hanya 162
sentimeter.
“Saat kejadian semua sudah tidur. Jadi mereka tidak
melihat ada kejanggalan.”
“Apakah pemilik rumah sudah dimintai keterangan?”
tanya wartawan itu lagi sambil mengarahkan microphone agar lebih dekat
dengan narasumbernya.
“Beliau masih berada di rumah sakit untuk pemeriksaan,
karena ada beberapa bagian tubuhnya yang juga terluka. Istrinya juga masih
belum sadar di ruang ICU. Jadi kami memberi waktu pada beliau untuk mendapatkan
perawatan lebih dulu,”
“Apa semua korbannya berada dalam satu kamar saat
kejadian?” tanya seorang wartawati yang mengenakan hoddie merah --yang sejak awal
sudah melontarkan pertanyaan hanya kurang beruntung karena suaranya tak
terdengar di antara belasan wartawan lain yang memiliki suara lebih nyaring--.
Belum juga polisi menjawabnya, sudah terdengar
pertanyaan lain. “Jadi total berapa banyak korban tewas, Pak?” Lagi-lagi
wartawan berambut keriting itu memenangkan sesi kali ini karena mata Pak Teguh
lebih mudah menjangkaunya.
“Untuk posisi para korban kami masih harus melakukan
olah TKP lebih dalam. Dan sejauh ini kami baru menemukan empat orang dan
semuanya masih anak-anak. Dua laki-laki dan dua perempuan.”
“Pak, saya, Pak,” Ruth berusaha keras menjejalkan diri
agar posisinya lebih di depan. “Apa mungkin Jayantaka adalah pelakunya?
Mengingat yang bersangkutan sering terlibat tindak kriminal, seperti kasus
judi, perkelahian, dan …,”
“Teman-teman, nanti kami akan membuat jumpa pers untuk
menceritakan detil tentang kasus ini, untuk sementara biarkan kami melakukan
tugas dulu. Mohon untuk kooperatif dalam mengawal kasus ini. Saya yakin
teman-teman media pasti bisa diajak kerjasama. Terima kasih, selamat siang.” Potong
Polisi Teguh tanpa menjawab pertanyaan Ruth sama sekali. Kemudian sekelompok
polisi-polisi muda itu bergerak menjauhi kerumunan wartawan. Ruth terlihat kecewa, Dewa menepuk bahu gadis
itu berulangkali berusaha menenangkan. Beberapa pasang mata wartawan lain
memandang Ruth dengan tatapan takjub.
“Kau terlalu frontal, kita sama-sama tahu siapa
Jayantaka, Polisi tak akan sembarangan dalam memberikan statement.” Bisik Dewa
seraya menggandeng tangan Ruth menjauhi kerumunan wartawan yang masih mencuri
pandang ke arah mereka berdua.
“Apa ada yang tahu bagaimana proses Jayantaka bisa
keluar dari penjara dengan kasus-kasus yang ia buat? Kenapa tadi kubilang jika
aku istrinya, aku lebih baik ikut mati dengan anak-anak itu, karena pasti
istrinya bisa menjadi salah satu korbannya, Mas.” Ruth berusaha menyampaikan
keresahannya. Dewa bergeming, ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk
berdiskusi. Ia memilih diam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Perlahan satu per satu wartawan melakukan aksi bubar jalan. Ada yang
mencari tempat sambil terus mengawasi TKP, ada pula yang memutuskan untuk
menuju rumah sakit tempat keberadaan Jayantaka dan istrinya.
“Mau tetap di sini atau ke rumah sakit, Ruth?”
“Rasanya lebih baik di sini, Mas. Di rumah sakit kita
juga sulit mendapatkan keterangan. Keamanan di sana pasti akan membuat
penjagaan ketat. Belum lagi ajudan – ajudan Jayantaka.”
Dewa memperhatikan sorot mata Ruth. Ada kebanggaan
dalam hatinya, Ruth yang dulu manja dan tidak pernah bisa mengambil keputusan,
kini seakan sudah mulai memahami langkah tepat apa yang harus ia ambil sebagai
seorang jurnalis.
“Kenapa begitu ngeliatnya?” alis mata Ruth naik
sebelah saat menyadari pandangan mata Dewa sedikit berbeda.
“Nggak usah GR! Aku tuh cuma mikir kamu kan cantik,
ya? Kok nggak ada yang mau?”
“Bukan nggak ada yang mau, akunya yang terlalu
pemilih. Udah, ah. Aku lapar, mas mau di sini atau ikut aku makan dulu?”
Tanpa membalas Ruth, Dewa malah berjalan mendahuluinya
menuju tempat mobilnya diparkir. Ruth mengejarnya sambil mendengus kesal.
0 comments:
Posting Komentar