Dapat Teman Sekaligus Keluarga Baru dari Komunitas Menulis, Why Not?
![]() |
sumber : https://stpeters.es/ |
Setelah
kemarin ditantang dengan pertanyaan, “Kenapa lama nggak update blog?”
Hari
ini kami diberi pertanyaan baru oleh segenap pengurus KEB.
Punya banyak teman di komunitas blog? Mengapa akrab dengan teman tersebut?
Pertanyaan
tersebut juga sebagai tema di Day-2 Blog Challenges KEB jelang perayaan Hari
Blogger di 27 Oktober 2023 besok.
Membahas tentang pertemanan, sebenarnya saya adalah tipe orang yang suka sekali memiliki banyak teman. Banyak teman banyak rejeki, pepatah lama berbunyi demikian. Namun, terkadang saya memiliki hambatan untuk memulai sebuah hubungan pertemanan itu sendiri. Dan itu terjadi di kehidupan nyata saya. Sampai sekarang pun saya masih suka bingung bagaimana cara berbasa basi dengan orang baru, bagaimana mencari tema yang pas untuk membuka sebuah obrolan, dan bagaimana nanti saya menanggapi orang tersebut jika kemudian kami terlibat dalam sebuah pembahasan. Apakah saya cukup menyenangkan untuk dijadikan teman ngobrol? Atau malah sebaliknya. Rasa insecure itu seketika muncul sendiri. Terus terang saya tidak nyaman jika sudah begitu. Akhirnya memilih diam dari pada nanti malah muncul kejadian-kejadian di luar ekspektasi saya.
Sampai
akhirnya saya mulai aktivitas blogging
pada 2011 lalu. Sebenarnya, memutuskan untuk menjadi seorang blogger itu bukan hal yang disengaja.
Bahkan sebutan blogging saja saya
baru tahu setelah salah seorang teman saya di Facebook mengarahkan saya untuk
coba menulis di salah satu platform menulis online, Kompasiana. Mungkin teman
saya itu sudah mulai pusing dengan kebiasaan saya yang hobi menulis fiksi di
status-status medsos. Memang, dulu saya mulai aktivitas menulis dengan membuat
cerpen ataupun cerbung. Saya paling suka ngarang soalnya, hahaha.
Akhirnya
saya pun registrasi di Kompasiana. Kali pertama bergabung, saya membuka
tulisan-tulisan para member senior di kanal fiksi. Waktu itu pun masih belum
berani meninggalkan komentar. Takut salah omong.
Beberapa
hari kemudian saya mulai memberanikan diri membuat konten, yakni menulis puisi.
Padahal puisi bukan minat saya, sekaligus puisi adalah salah satu bentuk sastra
yang menurut saya terlalu sulit untuk otak saya yang kapasitasnya hanya
setengah sedok teh ini. Tapi saat itu saya berpikir instan saja, satu-satunya
alasan karena puisi itu bisa ditulis lebih sedikit jumlah katanya daripada
cerpen. Saya cari mana yang lebih cepat tayang dulu, deh. Sesuai dugaan, belum ada yang mampir untuk meninggalkan
komentar. Sedih? Tidak! Hahaha, karena saat itu saya memang belum punya mimpi
ada yang mau mengomentari tulisan saya. Intinya saya kan baru test drive, jadi kalaupun tidak ada yang
mengomentari ya bukan masalah besar. Lagi pula puisi saya pun kelas ecek-ecek.
Nggak layak untuk diapresiasi.
Saya pun mulai menulis yang rada panjang tapi pendek. Eh, apaan, tuh? π π π
Cerpen.
Saya mulai menulis beberapa judul. beberapa komentar mulai singgah. Senang
sekali rasanya. Untuk membalasnya saya pun singgah di tulisan-tulisan para
pemberi komentar. Saya dan mereka saling mengikuti akun. Jika masing-masing
dari kami membuat konten baru, akan langsung muncul di fitur linimasa. Tanpa saya
sadari, itulah upaya pertama saya untuk memiliki teman di sana. Tidak butuh effort yang berlebihan ternyata. π
Di
Kompasiana tulisan yang dipilih menjadi Headline (HL) sangat diharapkan oleh
banyak member yang dikenal dengan sebutan Kompasianer. HL bisa dianggap sebagai
kasta tertinggi sebuah tulisan di sana. And,
I got it! Beberapa tulisan saya yang masuk kategori HL dan dari sana
akhirnya makin banyak yang masuk ke tulisan saya, dan mengikuti akun saya. Saya
pun langsung follow back, dong.
Tulisan
pertama saya yang menjadi Headline justru bukan
fiksi, melainkan sebuah reportase tentang profil penari kolong jembatan
Jatinegara. Dalam tulisan itu saya mengangkat kisah para gadis muda belia dari
salah satu daerah di Jawa Barat yang alih-alih punya cita-cita besar malah
justru ingin memiliki profesi yang sama dengan para pendahulunya. Mereka enggan
menamatkan pendidikan, karena ingin segera berangkat ke ibukota untuk bekerja
menjadi penari kolong jembatan. Menjadi penari memang bukanlah profesi yang
memalukan. Namun terkhusus penari kolong ini, memang sudah menciptakan konotasi
buruk di masyarakat, karena selain menjajakan kemampuan menari, mereka juga
kadang bisa diajak melakukan hubungan seksual. ππ
Laman itu sukses mendapat views sebanyak 2.223. Sebuah pencapaian luar biasa untuk saya pribadi sebagai Kompasianer baru.
Sejak
itu makin banyak yang mampir di tulisan saya dan kami menjadi teman. Saya pun akhirnya
berpikir, ternyata menulis adalah salah satu cara mendapatkan teman tanpa perlu
pusing memikirkan bagaimana memulainya. Bagaimana chit chat-nya. Tulisan itu sendiri adalah jembatan pertemanan yang
cukup ampuh.
![]() |
https://stock.adobe.com/ |
Tak hanya itu benefit yang saya dapatkan, di
Kompasiana muncul banyak komunitas-komunitas yang dibuat oleh kompasianer untuk
kompasianer. Para pengurus komunitas tak sungkan menawarkan ajakan bergabung
pada kompasianer lain untuk memperbesar komunitasnya. Saya pun mengalaminya.
Saya diajak bergabung oleh sebuah komunitas yang bernama Cengengesan Family
(CF). Sebuah komunitas yang di dalamnya terdiri dari puluhan kompasianer dari
latar belakang yang berbeda, juga tersebar di seluruh Indonesia, bahkan ada
pula yang tinggal di LN. Ada yang berprofesi sebagai dosen, guru, konsultan IT,
insinyur, dokter, sampai IRT.
Komunitas
ini “agak lain” dari pada yang lain. Di sini dibangun struktur seperti sebuah
keluarga, di mana masing-masing memiliki perannya sendiri. Ada yang berperan
sebagai kakek dan nenek, sampai cucu.
Posisi
saya saat itu adalah anak bungsu dari founder
komunitas yang berperan sebagai ayah. Perbedaan CF dengan komunitas lain yakni
cara nge-treat member. Walaupun kami
kerap kali bercanda dan saling ledek, di CF ini saya pun merasakan digembleng
habis-habisan. Saya dituntut untuk mengikuti jejak para senior yang harus
menayangkan sekurang-kurangnya sebuah tulisan setiap hari. Dan dalam 1 minggu
harus mendapatkan Headline minimal 3
kali. Sudah tak terhitung berapa kali saya menangis saat awal pertama gabung
dengan komunitas itu. Namun, saya dikuatkan oleh anggota lain yang mengatakan
bahwa ini adalah cara “papa online” saya itu untuk menjadikan saya blogger yang bisa menulis apa saja,
bahkan dalam waktu yang singkat.
Kendatipun
harus dengan berdarah-darah, tapi sejujurnya saya sangat senang didapuk menjadi
bagian dari mereka. Karena kami dipersatukan dalam satu minat yang sama. Yakni,
sama-sama suka menulis. Saya bisa dengan mudah konsultasi tanpa rasa sungkan.
Mereka pun tak pelit ilmu. Kami biasa mengadakan conference call sekali dalam sepekan untuk sekadar ngobrol atau
mungkin membahas sesuatu yang berhubungan dengan dunia kepenulisan.
Selain
menulis bisa membuat saya punya banyak teman, juga jadi punya keluarga baru.
Walaupun tak semuanya aktif menulis lagi, pertemanan kami bertahan sampai saat
ini.
Apa
ada teman-teman pembaca yang mendapatkan keuntungan ganda karena menulis
seperti saya? Sharing, yuk.
Salam
Sayang,
Ajeng
Leodita
Seru ya punya teman-teman yang sehobi dan seminat. Bikin makin semangat..
BalasHapusBangeeet Mbaaa, aku pun banyaaaaak dapat temen dari kegiatan blogging ini. Bisa dibilang temen Maya atau kalo menurut suami temen ghoib nya Fanny π, LBH banyak drpd temen asli. π
BalasHapusSoalnya aku lebih nyambung bicara Ama temen bloggers. Mungkin Krn sama2 hobi nulis yaa, jadi klik nya langsung dapat. Beda Ama temen nyata, atau temen dari grub ibu2 sekolah, beuuugh sampe skr ga bisa nyambung kalo mereka udah rame di grub π€£π€£.
Makanya aku ga bisa ninggalin blog sih. LBH milih mendingan vakum di IG drpd blog. Blog itu obat, sekalinya udh nulis, langsung kayak mood naik lagi ππ. Apalagi kalo udah BW ke temrn2. Berasa ngobrol kan Ama mereka.