Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Kamis, 23 Maret 2023

[BPN] Buku Tahunan Kelas






22 Maret 2003

Kelas 3C SMA Bunda Kasih mendadak riuh. Tangis mereka pecah sesaat setelah Bu Ayunda, wali kelas, mengabarkan bahwa Jenna meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan tunggal bersama Ayah dan Jenni, saudari kembarnya. Namun, di antara tiga korban, hanya Jenna yang nyawanya tak bisa diselamatkan. 
Riri, sahabatnya, orang yang paling terpukul dengan tewasnya Jenna. Malam sebelumnya mereka masih saling berkirim pesan singkat. Jenna mengatakan sedang dalam perjalanan pulang dari kampung halaman ibunya.
Bu Ayunda memeluk Riri, mengelus punggung muridnya itu sembari meluncurkan kalimat-kalimat penenang.

"Padahal kita sebentar lagi mau sesi foto untuk buku tahunan kan, Bu? Kenapa Jenna pergi duluan?" isaknya.

"Jenna nggak bisa melawan takdir Tuhan, Ri. Jenna sudah tenang di sana. Riri berdoa ya, buat Jenna. Biar Jenna juga nggak sedih, Riri pasti bisa." Ayunda menguatkan.

Juni 2013
Dua bulan setelah kepergian Jenna, euforia kepedihan itu masih juga terasa. Kelas terasa sepi. Tak ada lagi sosok Jenna yang kerap menghibur mereka dengan suaranya yang indah kala jam istirahat.

Riri ingin mengubah situasi ini. Ia ingin teman-temannya tidak berlarut-larut dengan rasa sedihnya. Ia tak mau sahabatnya sedih di Surga. Riri memikirkan sebuah ide.
Pertama kali ia mengajak Hera, sekretaris kelas, mereka bicara empat mata.

"Bagaimana kalau kita minta Jenni mewakili Jenna untuk foto buku tahunan?"

"Jenni? Kembarannya itu? Ah, gila. Mana mau? Teman-teman kita yang lain gimana, setuju? Pikirkan dulu, Ri. Biar bagaimanapun mereka tetap orang yang beda."

"Ya, hanya sekadar ide, Ra. Biar suatu saat nanti kalau kita buka buku tahunan, kita masih bisa melihat keberadaan Jenna di tengah-tengah kita,"

"Sebenarnya aku pribadi nggak masalah, tapi coba nanti aku sampaikan ke teman-teman,"

Tanpa disangka, semua siswa 3C sepakat dengan ide ini. Hera pun meminta Riri untuk menghubungi Jenni segera.

*

Malam itu Riri mencoba mengirimkan pesan singkat pada Jenni.

"Malam, Ni. Apa kabar?"

"Lebih baik, kamu?"

"Baik juga," balas Riri mencoba membohongi saudari kembar sahabatnya itu.
10 menit berlalu, Jenni tak melanjutkan pembicaraan itu. 

"Maaf sebelumnya ya, Ni. Akhir minggu ini sekolah mengadakan photo session untuk semua anak kelas tiga, termasuk kelas kami. Boleh kami sedikit merepotkanmu?" sambung Riri.

"Hmm?" 

"Apa kau mau mewakili Jenna untuk ikut berfoto dengan kami? Untuk mengisi profilnya saja, sayang sekali kalau tidak ada foto Jenna,"

"Maksudmu?"

"Eh, maksudku, paling tidak, foto sesorang yang mirip dengan Jenna."

"Hmmm ... Ok,"

Tanpa perlu menunggu respons lanjutan dari Jenni, Riri langsung mengirimkan alamat lokasi pengambilan foto  yang sudah mereka pilih lengkap dengan dress code yang harus dipakai Jenni.

*

Sabtu yang cerah seakan mendukung jadwal sesi foto buku tahunan untuk siswa-siswi 3C itu. Mereka terlihat sangat antusias hari ini. Tim foto yang disewa menata peralatan yang mereka bawa. Sebagian siswa terlihat berbincang seru dan sebagian lagi tak sabar menunggu kedatangan Jenni sebagai pengganti Jenna.
Bram, fotografer, meminta mereka semua segera berkumpul di spot foto yang sudah dipilih. Riri terlihat celingak-celinguk, Jenni masih belum muncul di sana. Gadis itu brnar-benar tak bisa dihubungi. Namun, Riri masih berharap Jenni akan menepati janjinya.

"Bang Bram, bisa sebentar lagi? Ada teman kami yang belum datang, cuma satu orang lagi,"

"Coba dikontak dong, habis ini saya ada jadwal di tempat lain,"

Riri kembali pada ponsel di tangannya. Ia mencoba menghubungi Jenni lagi, namun nomornya tetap tidak aktif. Bram sudah tak sabar. Baginya waktu adalah uang. Rekan-rekan lain pun sudah mulai mendesak Riri agar jangan terlalu banyak berharap pada kedatangan kembaran Jenna itu.
Dada Riri sesak. Ia tak bisa egois seorang diri. Akhirnya setelah berulangkali menarik napas panjang, Riri pun bisa berdamai dengan keinginannya. Ia pasrah dan segera bergabung dengan rekan-rekannya yang sudah dalam posisi masing-masing sesuai arahan Bram dan koreografernya.

"3,2,1 ciiissss," suara Bram memberi aba-aba.

Namun, Riri begitu terkejut dengan sebuah suara yang tiba-tiba muncul.

"Maaf, aku telat. Aku di sebelahmu aja, ya?" Jenni sudah di sebelah Riri yang memang posisinya berdiri paling ujung sebelah kanan.
Mata Riri berbinar. Ia sama sekali tak menyadari kemunculan Jenni di belakangnya. 

Keberadaan Jenni di tengah-tengah mereka hampir membuat Riri lupa bahwa Jenna sudah meninggal dunia dan yang ada di depan matanya adalah Jenni. Kemiripan yang terlalu sempurna, hampir tak ada beda. Riri merasakan matanya panas, ia hampir menangis. Untungnya suara Bram yang memberi aba-aba lagi membuat lamunannya tersadar.
Sesi foto dilanjutkan dan kini lengkap dengan adanya Jenni sebagai Jenna di sana.

*
Hasil foto yang sempurna. Tidak terlihat ada yang aneh dengan kemunculan Jenni sebagai pengganti Jenna. Bu Ayunda sempat terkejut dengan sosok Jenni yang sangat mirip dengan mendiang muridnya. 
Namun setelah hari itu, Riri dan Jenni tak lagi saling komunikasi. Riri mulai sibuk mempersiapkan diri untuk kuliah, pasti hal yang sama juga dilakukan Jenni.

*

Maret 2013

Riri bersama tunangannya duduk di sebuah restoran di bilangan Jakarta Selatan. Mereka membicarakan rencana pernikahan mereka di akhir tahun nanti. 

"Aku ke toilet dulu, ya?" Pamit Rangga, tunangan Riri. Gadis itu mempersilakan.

Riri memilih posisi duduk menghadap ke arah pintu masuk. Menurutnya pemandangannya jauh lebih bagus karena ia bisa sekalian melihat suasana di luar resto. 
Tiba-tiba Riri menangkap kedatangan sosok perempuan muda dengan tongkat di tangan kanannya. Ia bolak balik mengucek mata, berusaha meyakinkan pandangan matanya.
Perempuan itu bersama seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua namun masih cukup gagah.
Riri buru-buru bangkit dari duduknya, mendekat ke arah dua orang yang sangat dikenalnya.

"Jenni? Tante Mira, kan?" 
Jenni belum langsung mengenali Riri, namun ingatan tante Mira ternyata jauh lebih baik dari anaknya.

"Lho, Riri, ya? Kawannya Jenna, kan?" 

Wanita itu pun memeluk Riri erat. Sejak kecelakaan itu memang Riri belum bertemu lagi dengan mami Jenna itu.
Riri langsung mengajak dua orang itu untuk duduk bergabung bersamanya dan Rangga. Rangga yang sudah selesai dari toilet pun tak membuat penolakan. Mereka berempat pun duduk dalam satu meja. 

Sambil menunggu makanan yang dipesan, Riri pun membuka obrolan.

"Saya senang bisa melihat tante dan Jenni lagi,"

"Tante juga senang, Ri. Tante mau minta maaf, pemakaman Jenna memang tante buat hanya untuk keluarga saja, saat itu tante belum bisa berinteraksi dengan banyak orang. Tante sempat depresi. Makanya kami bertiga langsung balik ke Surabaya."

"Nggak apa-apa, Tante. Kami semua juga merasa sangat kehilangan Jenna."

"Tante harus pulang ke Surabaya karena di sana ada tantenya anak-anak yang bisa nemani Jenni bolak-balik rumah sakit. Ini saja sudah sampai operasi di Singapore tapi kakinya tetap ngga bisa jalan sempurna." Terang nyonya Mira menunjuk kondisi kaki Jenni. Gadis itu menunduk.

"Ini karena ... maaf, kecelakaan itu tante?"

Mira mengangguk lemah. Matanya berkaca-kaca. 
Riri bingung, pertemuan terakhirnya dengan Jenni dalam sesi foto itu ia terlihat baik-baik saja. Tak ada tongkat atau alat bantu lainnya.

"Eh, untungnya Jenni masih bisa ikut foto buku tahunan untuk gantikan Jenna." Riri mencoba mengalihkan pembahasan agar suasana menjadi sedikit lebih ceria.

"Foto?" Jenni buka suara.

"Iya, yang waktu itu aku kirim pesan ke kamu, minta kamu menggantikan Jenna, lalu kamu setuju. Lalu kamu datang ke Museum Tri Sakha, lokasi foto kita. Akhirnya, buku tahunan kami lengkap fotonya. Anyways makasih, ya, Ni. Jadi kami serasa punya kenang-kenangan sama Jenna,"

"Kamu hubungi aku ke mana? ponselku hilang saat kecelakaan itu. Dan bertahun-tahun sejak kejadian itu, jangankan berdiri apalagi sampai keluar rumah, bangun dari tidur saja aku nggak bisa."


-Selesai-


*Image from Google

0 comments:

Posting Komentar