Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Sabtu, 11 Februari 2023

Keluarga Rawikara : Chapter [1] Kebakaran di Rumah Jayantaka Rawikara


 





Sepuluh tahun belakangan kota ini tak punya kasus yang menarik perhatian. Korupsi dan pencurian seperti makan siang, hampir selalu ada setiap hari di media cetak dan online. Bahkan pihak kepolisian bisa menerima laporan sambil minum kopi dan mengunyah kacang bawang.  Namun, di tahun ini, muncul sebuah insiden yang cukup menggemparkan. Empat orang anak dari keluarga Rawikara ditemukan tewas terbakar di rumah mereka. Wartawan kembali menemukan semangat dalam pekerjaannya setelah lesu berkepanjangan dalam meliput berita yang itu-itu saja. Termasuk Ruth, wartawati 26 tahun yang lebih senang bekerja dari pada memikirkan jodoh yang entah kapan datangnya.

Pukul 8 pagi, udara di sekitar lokasi kejadian masih menunjukkan sisa-sisa asap kebakaran. Ruth dan seorang juru kamera memilih menjauhi keramaian setelah mendapatkan beberapa foto yang diharapkan. Namun, mata bulat Ruth terus waspada, memperhatikan beberapa polisi yang sedang meminta keterangan pada para tetangga dekat. Ruth belum menangkap kehadiran Jayantaka, pemilih rumah, pengusaha sukses, sekaligus ayah dari empat korban yang usianya masih sangat muda. Berdasarkan informasi terakhir yang didapatkan, Jayantaka masih berada di rumah sakit untuk menemani istrinya yang juga menjadi salah satu korban selamat. Belasan tenaga medis mendapat akses masuk ke rumah setelah petugas pemadam kebakaran memastikan bahwa api sudah benar-benar padam, lalu mereka keluar membawa kantong-kantong jenazah dan memasukkannya ke dalam ambulance yang sudah disiapkan. Sirine yang terus berbunyi membuat suasana cukup mencekam.

“Mungkin aku akan lebih memilih mati bersama anak-anakku dari pada harus kembali ke rumah dan terus trauma saat melihat kamar tidur mereka.” seloroh Ruth dengan pandangan yang tak lepas dari rumah mewah Jayantaka. Dewa mengangkat kepalanya sedikit, mata sipitnya tertuju pada gadis di depannya, namun tangannya masih tetap sibuk membersihkan lensa kamera dengan lap kain berbahan fiber. Sebagai seorang kameramen senior, mungkin kebakaran semacam ini adalah kasus kesekian kali yang ia tangani, sehingga terlihat ekspresinya yang nampak biasa saja. Berbeda dengan Ruth yang baru kali ini diberi jatah meliput kebakaran. Ia sibuk berasumsi dan memposisikan diri jika hal itu menimpanya. Seperti perempuan pada umumnya, Ruth kadang mendramatisir liputan-liputan yang sedang ia kerjakan. Makanya, kantor mereka menunjuk Dewa sebagai tandemnya. Sehingga Ruth tidak selalu berlarut-larut dalam menganalisa setiap kejadian.

“Mas, mau taruhan, nggak?” tanya Ruth memecah suasana.

“Soal apa?” balas Dewa setelah melipat kain fiber lalu memasukkannya ke dalam tas kamera.

“Ya, kasus ini.” jelas Ruth. “Coba bayangkan, mengapa hanya anak-anaknya yang mati? Di mana orang tuanya saat kebakaran terjadi?” sambung gadis itu lagi.

“Punya uang berapa mau ngajak taruhan? Gajimu saja belum penuh dibayarkan kok ngajak taruhan?” ledek Dewa sambil mengulum senyum.

“Taruhan sama Mas Dewa nggak butuh banyak modal kalau kalah. Diajak makan Nasi Padang samping kantor juga sudah puas. Ya, kan?” seloroh Ruth.

Spontan telapak tangan Dewa mengeplak kepala gadis itu pelan. Ruth cengengesan mendapat perlakuan semacam itu. Hubungan mereka bukan lagi sekadar pekerjaan, mereka bersahabat cukup lama, selain sebagai seniornya di kantor, Dewa juga seiornya di kampus. Bahkan pria 32 tahun itu yang merekomendasikan Ruth pada pemimpin redaksinya, sehingga Ruth bisa bergabung dengan kantor berita itu.

“Ruth, sepertinya polisi sudah santai, kita ke sana sekarang?” tanya Dewa seraya mengarahkan pandangan Ruth pada kumpulan polisi yang ingin mereka wawancara.

“Ok, Mas!” Gadis itu bangun dari posisi duduknya di pembatas aspal lalu menepak-nepak celana jinsnya dari debu yang menempel. Kemudian keduanya berjalan cepat menuju beberapa polisi yang terlihat sudah menjauhi orang-orang yang dimintai keterangan.

Tak hanya mereka berdua, ada puluhan jurnalis yang juga ingin meminta keterangan dari polisi, mereka saling berdesakan, adu cepat melontarkan pertanyaan dengan nada suara cukup kencang. Polisi bernama Teguh itu mencoba menjawab pertanyaan para wartawan satu per satu namun tetap belum semua bisa ia sampaikan, karena masih panjang proses penyelidikan untuk kasus ini.

 

“Bagaimana keterangan dari para tetangga, Pak Teguh?” tanya seorang wartawan yang posturnya paling tinggi di antara yang lain. Rambut keritingnya sedikit menutup jarak pandang Ruth yang tinggi badanya hanya 162 sentimeter.

“Saat kejadian semua sudah tidur. Jadi mereka tidak melihat ada kejanggalan.”

“Apakah pemilik rumah sudah dimintai keterangan?” tanya wartawan itu lagi sambil mengarahkan microphone agar lebih dekat dengan narasumbernya.

“Beliau masih berada di rumah sakit untuk pemeriksaan, karena ada beberapa bagian tubuhnya yang juga terluka. Istrinya juga masih belum sadar di ruang ICU. Jadi kami memberi waktu pada beliau untuk mendapatkan perawatan lebih dulu,”

“Apa semua korbannya berada dalam satu kamar saat kejadian?” tanya seorang wartawati yang mengenakan hoddie merah --yang sejak awal sudah melontarkan pertanyaan hanya kurang beruntung karena suaranya tak terdengar di antara belasan wartawan lain yang memiliki suara lebih nyaring--.

Belum juga polisi menjawabnya, sudah terdengar pertanyaan lain. “Jadi total berapa banyak korban tewas, Pak?” Lagi-lagi wartawan berambut keriting itu memenangkan sesi kali ini karena mata Pak Teguh lebih mudah menjangkaunya.

“Untuk posisi para korban kami masih harus melakukan olah TKP lebih dalam. Dan sejauh ini kami baru menemukan empat orang dan semuanya masih anak-anak. Dua laki-laki dan dua perempuan.”

“Pak, saya, Pak,” Ruth berusaha keras menjejalkan diri agar posisinya lebih di depan. “Apa mungkin Jayantaka adalah pelakunya? Mengingat yang bersangkutan sering terlibat tindak kriminal, seperti kasus judi, perkelahian, dan …,”

“Teman-teman, nanti kami akan membuat jumpa pers untuk menceritakan detil tentang kasus ini, untuk sementara biarkan kami melakukan tugas dulu. Mohon untuk kooperatif dalam mengawal kasus ini. Saya yakin teman-teman media pasti bisa diajak kerjasama. Terima kasih, selamat siang.” Potong Polisi Teguh tanpa menjawab pertanyaan Ruth sama sekali. Kemudian sekelompok polisi-polisi muda itu bergerak menjauhi kerumunan wartawan.  Ruth terlihat kecewa, Dewa menepuk bahu gadis itu berulangkali berusaha menenangkan. Beberapa pasang mata wartawan lain memandang Ruth dengan tatapan takjub.

“Kau terlalu frontal, kita sama-sama tahu siapa Jayantaka, Polisi tak akan sembarangan dalam memberikan statement.” Bisik Dewa seraya menggandeng tangan Ruth menjauhi kerumunan wartawan yang masih mencuri pandang ke arah mereka berdua.

“Apa ada yang tahu bagaimana proses Jayantaka bisa keluar dari penjara dengan kasus-kasus yang ia buat? Kenapa tadi kubilang jika aku istrinya, aku lebih baik ikut mati dengan anak-anak itu, karena pasti istrinya bisa menjadi salah satu korbannya, Mas.” Ruth berusaha menyampaikan keresahannya. Dewa bergeming, ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk berdiskusi. Ia memilih diam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

 

Perlahan satu per satu wartawan melakukan aksi bubar jalan. Ada yang mencari tempat sambil terus mengawasi TKP, ada pula yang memutuskan untuk menuju rumah sakit tempat keberadaan Jayantaka dan istrinya.

“Mau tetap di sini atau ke rumah sakit, Ruth?”

“Rasanya lebih baik di sini, Mas. Di rumah sakit kita juga sulit mendapatkan keterangan. Keamanan di sana pasti akan membuat penjagaan ketat. Belum lagi ajudan – ajudan Jayantaka.”

Dewa memperhatikan sorot mata Ruth. Ada kebanggaan dalam hatinya, Ruth yang dulu manja dan tidak pernah bisa mengambil keputusan, kini seakan sudah mulai memahami langkah tepat apa yang harus ia ambil sebagai seorang jurnalis.

“Kenapa begitu ngeliatnya?” alis mata Ruth naik sebelah saat menyadari pandangan mata Dewa sedikit berbeda.

“Nggak usah GR! Aku tuh cuma mikir kamu kan cantik, ya? Kok nggak ada yang mau?”

“Bukan nggak ada yang mau, akunya yang terlalu pemilih. Udah, ah. Aku lapar, mas mau di sini atau ikut aku makan dulu?”

Tanpa membalas Ruth, Dewa malah berjalan mendahuluinya menuju tempat mobilnya diparkir. Ruth mengejarnya sambil mendengus kesal.

 

 bersambung ...

 

Anakmu Bukan Bau Tangan, Dia Hanya Bucin pada Orangtuanya






Bucin alias Budak Cinta saat ini menjadi istilah yang cukup hits di kalangan generasi Z. Orang yang teridentifikasi terkena "virus" ini adalah orang-orang yang sedang jatuh cinta. Mereka akan melakukan banyak hal mulai dari yang normal sampai yang paling konyol untuk pasangannya, baik itu untuk yang berstatus pacaran maupun yang sudah masuk ke jenjang pernikahan. Tapi apakah ke-Bucin-an ini hanya milik mereka -- mereka yang sudah remaja atau dewasa saja? Tentu tidak.

Bayi-bayi mungil dan balita kita juga bisa bucin, lho. Istilah old school-nya mungkin "bau tangan". 

Intinya, yang dia hanya mau ibunya, ibunya, ibunya.

Di sini saya mau berbagi pengalaman pribadi saya mengurus anak kedua saya yang berjenis kelamin perempuan, usianya hampir 4 tahun. Saya merasa, gadis kecil saya ini sangat bucin pada mamanya, walau tidak selalu 24 jam kami punya waktu bersama.

Sebagai ibu bekerja, saya kerap meninggalkan anak saya di rumah dan mempercayakan penjagaannya pada nenek dan kakeknya. Kenapa saya tidak pakai baby sitter? Karena orang tua saya yang melarang. Ok, sampai di sini paham, ya? Hehehe.

Sejak usianya 2 tahun, setiap kali saya pulang kerja, walaupun dia sedang asik main dengan boneka-bonekanya, atau sedang diajak bercanda dengan nenek dan kakeknya, dia akan melepaskan itu semua saat melihat saya sudah ada di hadapannya. Lalu menatap saya untuk beberapa saat sambil tersenyum kemudian minta dipeluk/digendong.  Kalau sudah ada saya di rumah, dia suka nggak mau dilepas lagi. Bahkan untuk ganti pakaian rumah saja saya nggak sempat.

Dia seringkali minta ditemani main, sambil sesekali melakukan eye contact.

Saat gadis kecil saya masuk di usia 3 tahun, sikapnya menjadi lebih posesif. Dia nggak memperbolehkan saya dekat dengan siapapun selagi posisi saya masih bisa dijangkau oleh pandangan matanya. Bahkan saat menjelang tidur, dia hanya mau saya yang temani. Kebiasaan saya memang selalu menyanyikan lagu pengantar tidur minimal 5 judul.

Dia sering menunjukkan raut muka sedih saat saya sudah bersiap berangkat kerja. Rasanya matanya seperti bicara, "Di rumah aja, nggak usah kerja ya, Ma. Main aja sama aku,". 

Anyways, anak saya ini memiliki kendala speech delay, sehingga banyak hal yang dia inginkan tidak tersampaikan dengan baik. Namun, sebagai ibu, hanya dengan melihat tatapan mata dan gestur tubuhnya saya bisa memahami apa maunya.

Anak saya masuk kategori hiperaktif, walaupun dia perempuan tapi dia lebih lincah dari kakak laki-lakinya. Dia tidak takut ketinggian, tidak gampang menangis saat jatuh, dan walaupun dalam keadaan sakit ia juga bukan tipe anak yang lebih banyak diam. Dia akan tetap terlihat sehat dengan segala kelincahannya.

Neneknya pernah cerita pada saya, saat saya tidak berada di rumah, anak ini lebih banyak diam saat bermain. Dia hanya sibuk memperhatikan mainan-mainannya. Tapi saat bersama saya, anak ini agak lain. Dia suka "ngoceh-ngoceh" sambil sesekali melihat ekspresi saya. Jika saya tertawa, maka dia pun ikut tertawa.

Sekarang ini ada kebiasaan baru yang dia lakukan. Yaitu, minta pada neneknya untuk menghubungi saya melalui video call. Biasanya saya hanya mengaktifkan kamera sambil tetap melanjutkan pekerjaan. Dia pun tetap sibuk dengan mainannya, hanya saja sepertinya dia mau saya melihat aktivitasnya secara langsung jadi seakan kami ini ada di satu tempat yang sama.

Ada sebuah artikel yang narasumbernya seorang dokter mengatakan "Pada proses menyusui, tercipta bonding dan pemberian stimulasi. Saat menyusui langsung, ibu akan melakukan kontak mata dengan bayi, mengelus kepala dengan penuh kasih sayang, memerhatikan bayi yang menyusu serta mengajak bayi berbicara atau mendendangkan lagu untuk bayi," 

Sayangnya, anak saya tidak seberuntung itu. Ia tidak menerima cukup ASI. Sejak usianya 5 minggu saya terpaksa memberinya sufor karena produksi ASI saya sangat sedikit. Lalu kuantitas pertemuan kami pun terbatas. Saya berangkat kerja pagi sekali dan akan pulang pada larut malam. Jadi saat dia bayi, interaksi kami hanya di saat dia haus minta susu saat tengah malam.

Jadi ini memunculkan rasa penasaran, hal apa yang membuatnya sedekat ini dengan saya? Melihat saya jauh dari kata ideal sebagai ibu. 

Usut punya usut, sepertinya saya menemukan alasan mengapa walaupun dia tidak mendapatkan ASI yang cukup dan waktu kebersamaan yang banyak dengan saya. 

Saat saya bisa stay di rumah, saya maksimalkan kinerja saya sebagai ibu. Nenek dan kakeknya saya biarkan menikmati kesenangannya sendiri. Saya kerahkan semua cinta saya padanya. Saya ajak dia ngobrol walaupun dia belum bisa membalasnya, saya ajak bercanda sampai dia terkekeh-kekeh.  Saya berusaha selalu nampak di hadapannya jika saya sedang berada di rumah. Apapun yang dia butuhkan, selalu saya bantu. Saya tidak pernah membiarkannya sendirian barang sedetik pun. Hal ini saya anggap sebagai penebusan dosa saya padanya. Dan, Alhamdulillah, saya menjalankannya dengan ikhlas.

Jika ada yang bekerja Senin-Jumat dan ingin menikmati waktu libur sendirian, saya jutru berupaya membangun quality time dengan anak balita saya. Walaupun hanya 2 hari dalam seminggu, tapi saya total mengurusnya tanpa jeda. Hal itu semata-mata demi mengejar keyakinannya, bahwa mamanya selalu ada buat dia.  

Jadi, kalau anak Anda h a n y a mau "nemplok" sama Anda, dan tidak mau digantikan dengan siapapun, berhentilah menyebutnya "bau tangan". Pahamilah, bahwa dia sedang jatuh cinta pada ibunya, orang tuanya. Dia merasa selalu lebih aman ada dalam dekapan Anda. Dia merasa ingin dimanja oleh orang yang membuatnya nyaman. Dan dia tahu, bahwa Anda yang lebih dulu membangun rasa itu sehingga sekarang dia sambut dengan rasa cinta yang sama.

Coba deh sekarang mulai pelajari apakah anak anda masuk ke ciri-ciri yang bucin pada orang tuanya? Kalau iya, selamat. Anda sudah mendapatkan hatinya, tetaplah merawat itu karena masa kecil mereka tak akan pernah terulang lagi. Biarkan mereka mencintai anda selamanya. 

Dan terkhusus untuk para ibu bekerja, jangan kecil hati, manfaatkan waktu libur anda untuk menebus kerinduannya, mengembalikan rasa percayanya dan buatlah ia merasa Anda selalu ada walaupun tak selalu di depan mata.

Salam sayang 

dari Mama dan Orlee,


Tulisan ini juga diposting di sini