Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Jumat, 22 September 2023

Memblokir Akun yang Mengganggu di Medsos, Why Not?


 

Sumber gambar pxfuel.com



Munculnya media sosial sejak awal tahun 2000an mengubah pola hidup banyak orang. McGraw Hill Dictionary mendefinisikan media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual.

Media sosial juga memiliki jenis yang beragam. Salah satunya adalah jejaring sosial, diantaranya Facebook (FB), Instagram (IG) dan TikTok (TT). Untuk kaum IRT yang juga bekerja seperti saya, media sosial adalah sarana menunjukkan sisi lain diri sendiri. Bukan menghilangkan identitas asli, lho. Hanya saja ada keluhan yang tidak bisa disampaikan di dunia nyata yang akhirnya mencoba mencari tempat mengeluarkan uneg-uneg. Hal itu bisa jadi karena tidak ada lawan bicaranya. Bisa juga karena tidak adanya kesamaan minat. Jika disimpan sendiri bisa muncul jerawat.

Contoh yang paling dekat, saya hobi menulis. Tapi di circle saya baik di kantor atau di rumah, tidak ada yang memiliki hobi yang sama. Sama pernah coba ajak atau kadang meminta mereka untuk membaca tulisan-tulisan receh saya, namun sepertinya mereka tidak tertarik. Apa saya harus memaksa? Tidak. Dan apakah saya harus menghentikan hobi saya? Itu lebih tidak mungkin.

Oleh karena itu, saya merasa media sosial adalah tempat lain yang bisa memberikan kenyamanan itu. Saya lebih punya banyak teman dengan minat yang sama yang saya temukan di media sosial. Kami punya komunitas menulis, saling tukar pikiran, saling mengoreksi dan menerima masukan. Walaupun tidak selalu berjalan harmonis, karena gesekan itu selalu ada di berbagai lini. 

Namun, semua itu proses. Setiap orang pasti pernah mengalaminya. Saya juga kerap curhat di media sosial. Tapi di sini bukan mengeluhkan permasalah yang saya alami di lingkungan kerja, lingkungan rumah apalagi masalah dalam rumah tangga sendiri. Yang menjadi bahan keluhan saya biasanya mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah soal kenaikan harga ini-itu, kebijakan di sekolah anak, kadang juga mengenai berita-berita viral yang bisa didiskusikan secara sehat. Saya menemukan kepuasan itu di media sosial.

Tapi ada pula yang menjadikan media sosial untuk "melarikan diri" dari dunia nyata. Menjadi sosok yang benar-benar berbeda. Menjadi akun yang menyerang seseorang secara personal. Menggunakan nama samaran, foto palsu, dan segenap identitas anonim lain yang mendukung usahanya untuk menyamar.

Mayoritas orang membagikan status dan foto/video aktivitasnya di story whatsapp, namun tidak demikian dengan saya. Saya jarang membagikan foto/video di sana melainkan mengalihkannya ke IG atau FB. Apa sebab? Karena di dua platform tersebut kita bisa menyimpan foto-foto dalam waktu lama dan setiap tahun akan diingatkan lagi dengan kemunculannya di timeline kita, bahkan kita bisa memilih mau me-repost lagi atau tidak. Hal itu jelas lebih menyenangkan, bukan?

Saya sering membagikan foto atau video aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan baik di kantor maupun saat dinas luar, aktivitas dengan teman-teman sesama Blogger, atau post tulisan-tulisan yang kerap saya buat di blog pribadi atau pun di Kompasiana.

Saya juga suka melakukan live streaming Tiktok dengan karaoke yang lagu-lagunya bisa diambil dari YouTube. Kadang saya melakukannya sendiri, kadang pula bersama komunitas menyanyi yang saya buat bersama teman-teman di platform digital video itu.


Nah, media sosial seperti FB, IG dan TT memiliki fitur mensinkronkan akun kita dengan nomor ponsel yang kita gunakan untuk registrasi. Hal itu memungkinkan pihak-pihak yang menyimpan nomor ponsel kita yang menggunakan media sosial yang sama mendapatkan saran otomatis untuk menambahkan akun kita sehingga antara kita dan mereka menjadi terhubung. 

Awalnya saya anggap itu bukan masalah besar. Saya merasa tidak melakukan hal yang salah dengan media sosial saya ini. Entah saya atau mereka yang lebih dulu mengajukan tambah pertemanan, yang pasti saya tidak menutup kemungkinan tersebut.

Masalahnya dimana?

Ternyata, apa yang mereka lihat di akun Facebook ataupun tiktok saya dijadikan bahan sindiran untuk saya.


"Enak jalan-jalan terus kerjanya, anak & suami ditinggal."


"Anaknya sakit, ibunya jalan-jalan ke luar kota."


"Kalau nggak suka dengan kebijakan sekolah, demo ke sekolah aja, ngapain malah bikin artikel? Biar dibaca orang? Biar aib sekolah anaknya diketahui banyak pihak?"


"Mbak Ajeng nyanyi mulu, kerjaan kantor berantakan lho nanti,"


Kalimat-kalimat sarkasme semacam itu menjadi makanan sehari-hari buat saya. Lalu, apa saya langsung marah? Tidak. Selagi kalimat itu tidak langsung dikonfirmasi langsung ke saya, pasti saya abaikan.

Saya mendapat tugas luar kota, meeting dengan client kantor, saya harus melakukan presentasi, dsb, yang tahu apa yang diperintahkan kantor itu hanya saya sebagai karyawan mereka. Dan semua yang saya lakukan sudah pasti dengan diskusi sebelumnya bersama suami.

Saya melakukan live streaming karaoke di TT itu pun saya lakukan di rumah. Suami saya sebagai "soundman" yang mengurus peralatan karaoke saya. Memang saya agak serius dengan hobi ini karena sampai membeli beberapa peralatan pendukung seperti Microphone, Sound card untuk karaoke ya walaupun yang murah harganya. Hihihi.


Koleksi Pribadi/Microphone dan Soundcard


Dan kenapa melakukan live streaming menjelang jam orang tidur karena saya bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Sampai di rumah saya langsung memeriksa PR anak pertama selanjutnya main dengan anak bungsu saya yang spesial itu. 

Sebagai ibu bekerja tentulah kita punya rasa jenuh. Masing-masing ibu punya caranya sendiri untuk menghilangkan rasa jenuh itu. Ada yang suka jalan-jalan, belanja, perawatan diri ke salon, dan masih banyak lagi. Kebetulan saya suka menulis dan menyanyi. Dan saya bisa melakukan hal tersebut di rumah sambil tetap memantau aktivitas anak dan mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya ibu rumah tangga.

Jadi, di mana letak surga itu? Ah, Bukan.  Jadi, di mana letak kesalahan saya sebagai manusia yang senang bermedia sosial?


Sepemahaman saya, bermedia sosial yang sehat mencakup poin-poin berikut :


  • Tidak menyerang pihak lain secara personal,


  • Tidak menyebarkan issue atau hoax,


  • Berhati-hati membagikan foto atau video yang sekiranya bisa memunculkan opini negative seperti pornografi atau pornoaksi,


  • Menggunakan Bahasa yang sopan dan tidak provokatif,


  • Menjauhkan diri dari akun-akun yang berkompeten mengajak debat kusir atas issue-issue yang berkembang dalam masyarakat.


Jika hal tersebut sudah kita lakukan, namun tetap muncul serangan dari orang-orang di dunia nyata yang tidak suka dengan aktivitas media sosial kita, lantas apa yang harus kita lakukan?

Eh, ini hanya untuk yang merasa belum paham, ya. Hehhee.....  

Begini triknya :


Pada aplikasi FB, IF dan TT, ada fitur di mana kita bisa mengatur akun kita bisa di set untuk Public atau Private. Semua tergantung pada keinginan kita. 

Tapi jika kita memilih akun kita set Public namun ingin membatasi setiap postingan hanya dilihat oleh siapa, kita pun bisa mengaturnya sendiri. Caranya sangat mudah.

Pahami dulu pilihan berbagi di aplikasi Facebook berikut :




Koleksi Pribadi/Fitur FB untuk memfilter siapa yang bisa melihat postingan kita


Publik : Postingan bisa dilihat oleh publik, artinya semua orang bisa melihat apa yang anda bagikan. Walaupun tidak berteman. 

Teman : Postingan bisa dibagikan hanya pada teman dalam friend list, 

Teman kecuali : Postingan bisa diatur dilihat oleh semua teman kecuali teman yang tidak anda inginkan.

Teman spesifik : Postingan hanya dibagikan pada teman-teman yang anda pilih (masukkan nama teman yang anda inginkan)

Hanya Anda : Postingan hanya bisa dilihat oleh diri anda sendiri.

Khusus : Postingan bisa diatur secara otomatis untuk pengaturan teman kecuali dan teman spesifik.



Bagaimana jika masih tetap muncul "gangguan"? Lakukan Unfriend / hapus pertemanan. Bagaimana jika masih belum cukup? Langsung BLOKIR!


Caranya sbb :


Cara Blokir di Facebook


Koleksi Pribadi/Cara blokir di Facebook


Koleksi Pribadi/Cara blokir di Facebook



Koleksi Pribadi/Cara blokir di Facebook

Koleksi Pribadi/Cara blokir di Facebook


Cara Blokir di Instagram


Koleksi Pribadi/Cara blokir di Instagram


Koleksi Pribadi/Cara blokir di Instagram


Cara Blokir di Tiktok


Koleksi Pribadi/Cara blokir akun lain di Tiktok



Jadi, kalau terpaksa memblokir akun seseorang di media sosial karena kita merasa tidak nyaman, why not?

Media sosial pribadi kita itu hak dan kewajiban kita, kok.

Kita berhak memposting hal-hal yang ingin kita bagikan pada teman-teman media sosial. Namun tetap ada kewajibannya juga, yaitu hal tersebut haruslah bersifat positif dan bijak. Kita wajib menjaga nama baik diri sendiri dan memastikan apa yang kita bagikan itu tidak memunculkan masalah di kemudian hari. Jika ada yang berseberangan dengan apa yang kita bagikan, itu merupakan hal yang wajar. Tapi perlu kita cermati dulu, pendapat berseberangan atau penolakan yang terjadi ini alasannya bisa dipertimbangkan atau tidak? Jangan-jangan hanya karena rasa iri berlebihan?


Tapi, ada kalimat sakti yang sudah ada sejak dulu,


Kita tidak bisa mengatur pemikiran orang dan apa yang orang lain katakan tentang kita. Yang bisa diatur adalah cara kita mengelola emosi diri sendiri dalam menghadapi semuanya.


Semoga bermanfaat,

Salam sayang.

Tulisan ini juga posted di sini


Kamis, 21 September 2023

Serunya Walking Tour Bersama Koteka dan Wisata Kreatif Jakarta



Koleksi foro Komunitas Wisata Jakarta



"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" sebuah kalimat penutup yang diucapkan Koesno Sosrodihardjo atau yang kita kenal sebagai Bung Karno, Bapak Proklamator Republik Indonesia. 

Ucapan itu muncul tepat saat perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia 57 tahun silam. Sedikit pesan yang mengandung banyak makna, pesan yang sepatutnya disampaikan terus pada anak dan cucu kita.

Hal itu pula yang menjadi trigger untuk Komunitas Traveler Kompasiana (Koteka) bekerja sama dengan Mba Ira Latief dari Wisata Kreatif Jakarta mengadakan "Walking Tour Napak Tilas Kemerdekaan" untuk trip Agustus ini dengan tujuan Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) dan Monumen Pancasila Jakarta.  Event ini juga bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Provinsi DKI Jakarta yang menyediakan semua suvenir untuk para peserta. 


Tur ini diadakan dalam 2 pilihan. Virtual Live dan Walking Tour.

Berhubung saya hanya punya waktu libur di hari Sabtu, maka saya memilih untuk bergabung dengan walking tour. Kunjungan museum kali ini terasa sangat berbeda. karena para peserta diajak berjalan kaki kurang lebih 3 kilometer. Mulai dari pukul 09.00 hingga 12.00 WIB.

Mau tahu bagaimana keseruan kami hari ini? Let's check it out!

Jadi, begini ceritanya ....

Pukul 8.30 pagi saya berangkat dari kediaman di Bekasi menuju titik kumpul di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) yang terletak di Jl. Imam Bonjol No.1, RT.9/RW.4, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Jarak tempuh kurang lebih 1 jam.

Sampai di lokasi, suasana belum terbilang ramai, karena berdasarkan informasi, peserta hampir mencapai 110 orang. Namun, walaupun belum banyak yang datang, tapi dress code bernuansa merah sudah menciptakan euforia meriah. 

Kami diminta datang sebelum jam 09.00 karena diwajibkan untuk melakukan daftar ulang di depan pintu masuk.

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadi

Lokasi pendaftaran ulang| Dokumentasi grup Wisata Kreatif JakartaSebelum mulai tur, saya bertemu dulu dengan mba Ira Latief (sesuai permintaan beliau dalam pesan WhatsApp) karena untuk blogger mendapat souvenir tanpa syarat. Eaakk, itulah enaknya jadi blogger, yagesyaaa... :D

Dari sekian banyak peserta yang hadir, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. FYI, tidak semua peserta yang hadir di sana adalah member Koteka.

Ada pula dari komunitas lain, anak sekolah, juga keluarga. Kebetulan karena saya datang sendiri, dan nggak tahu di mana member Koteka lain yang datang. Saya diarahkan oleh Mbak Ira untuk bergabung dengan kelompok 4 yang hampir seluruhnya adalah member dari komunitas Ayo Motret Jakarta (AMJ).

Tiap kelompok ditemani oleh 1 orang Tour Guide (TG). TG kelompok 4 hari ini adalah Mas Rizky.

Dokumentasi pribadiMas Rizky mengumpulkan kami di sudut kanan sebelah pintu masuk. Setalah menyapa dan sedikit melempar canda agar suasana menjadi hangat, saatnya beliau masuk ke ranah yang lebih serius, yaitu menjelaskan sejarah bangunan ini hingga kemudian menjadi Munasprok.

Gedung yang memiliki luas lahan 3.914 m2 ini telah mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Pertama kali dibangun pada tahun 1910 oleh Belanda untuk dijadikan sebagai kantor asuransi pertama (PT. Asuransi Jiwasraya) di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. 

Arsiteknya bernama Johan Frederik Lodewijk Blankenberg. Kemudian bangunan ini diambil alih pihak Inggris sekitar tahun 1927 sebelum pecahnya Perang Pacific dan difungsikan sebagai rumah dinas Konsulat Kerajaan Inggris.

Namun, setelah Perang Pacific terjadi, Jepang menguasai Indonesia dan mengambil alih gedung ini yang kemudian dijadikan sebagai rumah kediaman Laksamana Tadashi Maeda. 

Sekalipun Maeda adalah perwira tinggi Angkatan Laut Jepang, namun ia menaruh simpati pada rakyat Indonesia. Sehingga ia ingin membantu Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya.

Dok Wikimedia Commons via Kompas.comSetelah penjelasan singkat di bagian depan museum, Mas Rizky mengajak kami memulai tur ke bagian dalam gedung. Ada beberapa ruang di dalamnya, yaitu:

Ruang Pertemuan (Onvangkamer)

Ada 4 sofa kursi tamu dan sebuah meja. Juga meja dan kursi kerja yang menghadap ke jendela. Ruangan ini dipakai oleh Maeda untuk menerima kedatangan Ahmad Subarjo, Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 pukul 22.00 WIB.

Ketiga tokoh Indonesia ini meminta bantuan pada Maeda agar mereka diberikan tempat untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dalam hal ini adalah merancang teks proklamasi yang niatnya akan mereka bacakan segera di depan seluruh rakyat Indonesia.

Namun, niat tulus tidak selalu mulus. Saat tiga tokoh Indonesia dan Maeda menemui Mayor Jenderal Nishimura Otoshi yang kala itu menjabat sebagai Direktur Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang, ada penolakan yang muncul.

Otoshi mengatakan bahwa Jepang tidak bisa membantu karena adanya kesepakatan dengan pihak Sekutu dan ia juga melarang rapat malam itu di rumah dinas Maeda dilanjutkan. 

Maeda berusaha tetap berdiri dalam posisi tengah di antara kedua kubu. Beliau memutuskan untuk tidak lagi ikut campur atas keduanya. Ia memilih untuk meninggalkan tiga tokoh Indonesia ini dan masuk ke tempat istirahatnya.

Dokumentasi pribadi

Ruang Makan (Eetzaal)

Terdapat sebuah meja makan panjang dan 12 kursi berbahan kayu. Juga meja makan yang berukuran lebih kecil dengan 4 kursi dan 2 lemari kayu berukuran sedang.

Melihat Maeda masuk ke kamarnya (kurang lebih pukul 02.00 WIB, 17 Agustus 1945) ketiga tokoh ini bergegas ke ruang makan untuk mengadakan rapat perumusan naskah proklamasi. 

Di malam itu, tak hanya tiga tokoh besar ini yang ada di dalam ruang makan ini, melainkan ada 3 pemuda Indonesia yakni: Sukarni, B.M Diah, dan Sudiro. Hanya saja mereka tidak dilibatkan dalam rapat. Ruangan ini menjadi saksi kali pertama Bung Karno merumuskan naskah yang beliau beri judul "Proklamasi"

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadi

Ruang Besar (Hal)

Terdapat sebuah meja makan panjang dan 12 kursi berbahan kayu, mirip dengan ruang makan. Ada pula puluhan foto golongan muda dan tua yang malam itu hadir dalam perumusan naskah proklamasi.

Di ruangan ini, tiga tokoh Indonesia itu sudah ditunggu oleh puluhan orang yang terdiri dari golongan muda dan golongan tua yang sudah tidak sabar menunggu hasil rapat. Banyak diskusi yang terjadi di sini. Salah satunya adalah siapa yang akan menandatangani naskah tersebut.

Mulanya, Bung Hatta ingin semua yang hadir di rumah Maeda itu menandatanganinya, namun atas saran dari beberapa pihak termasuk Sukarni dari golongan muda, diputuskan agar naskah proklamasi hanya ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai perwakilan rakyat Indonesia.

Hall| Dokumentasi pribadi

Foto golongan Tua dan muda| Dokumentasi pribadi

Ruang Ketik Naskah

Terdapat sebuah piano di depan ruang ketik naskah. Di atas piano ini, Bung Karno menandatangani naskah proklamasi sebelum diketik oleh Sayuti Melik dan diubah beberapa kalimatnya berdasarkan kesepakatan bersama.

Setelah naskah asli ditandatangani, Bung Karno menyerahkannya pada Sayuti Melik. Bukan tanpa sebab mengapa Sayuti Melik yang dipilih untuk mengetik naskah tersebut, melainkan karena beliau mahir dalam dunia tulis menulis dan juga berprofesi sebagai jurnalis kala itu.

Namun, ada yang menggelitik di sini, yaitu keberadaan naskah asli tulisan tangan Bung Karno yang sempat dinyatakan hilang. Ternyata, kertas itu disimpan dengan baik oleh B.M Diah dan baru dikembalikan pada pemerintah era Soeharto pada 1993. Saat ini naskah tersebut ada di Museum Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Ruang ketik naskah| Dokumentasi pribadi

Piano| Dokumentasi pribadiBanyak foto lain yang saya abadikan selama berada di sana selain ruangan-ruangan penting dalam proses perumusan naskah proklamasi ini.

Monggo check

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadiLepas dari ruangan-ruangan itu, seharusnya kami bisa menuju lantai 1, yang katanya kamar tidur dari Laksamana Meda.

Akan tetapi, sehubungan dengan adanya informasi bahwa ruangan tersebut masih diperbaiki, maka kami langsung dialihkan ke bunker yang posisinya ada di halaman belakang museum.

Berdasarkan informasi dari tour guide kami, dahulu, bunker tersebut hanya menyimpan dokumen-dokumen penting milik Laksamana Maeda.

Namun, dari sumber-sumber yang saya dapat dari internet, bunker tersebut dulunya punya jalan tembus menuju Istana Negara. Tapi, itu dulu. Banyak perubahan terjadi seiring berkembangnya zaman, kan?

Bunker| Dokumentasi pribadiOh, ya, berhubung bunker ini dekat dengan lokasi parkir motor, jadi jangan khawatir jika kalian mau datang ke sini, tersedia space yang terbilang lumayan untuk memarkir 10-18 unit motor. Dan, free.

Selesai dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini, kami pun bergerak menuju lokasi selanjutnya. Acara jalan kaki pun dimulai. :D (jangan lupa foto dulu)

Dokumentasi grup Wisata Kreatif JakartaTaman Suropati

Sekitar pukul 10.20, kami bergerak ke arah Taman Suropati dengan berjalan kaki, yaitu kurang lebih 3 menit atau kira-kira 190 meter dari Musaprok. Alhamdulillah, cuaca masih cukup mendukung. Dulu, saat saya SMA, sekitar tahun 2002, Taman Suropati yang dikenal dengan TamSur adalah kawasan tujuan pacaran. 

Sepulang sekolah kami sering menghabiskan waktu di sana. Apa sebab? 

Jajanannya melimpah. Yang saya masih selalu ingat adalah sate padang. Namun, jangan harap menemukan jajanan semacam itu sekarang. Sudah ada aturan dari pemda DKI untuk larang berjualan di sekitar Taman Suropati. 

Anyways, jangan dikira TamSur tidak punya kisah Sejarah, lho. Awalnya, taman ini diberi nama Burgemeester Bisschopplein. Nama itu diberikan oleh pemerintah Belanda pada seorang walikota berkebangsaan Belanda juga bernama G.J Bisschop, karena ia mempelopori banyak pembangunan di Hindia Belanda.

Dokumentasi grup Wisata Kreatif Jakarta

Dokumentasi pribadiKami pun terus berjalan, sampai akhirnya tiba di jalan Surabaya. Area ini dulu terkenal menjual barang-barang antik. Tapi, setelah covid 3 tahun lalu, banyak pedagang yang gulung tikar. Banyak ruko yang terpaksa tutup. Sayang banget, ya.

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadiRumah Bung Hatta

Kami tidak lama-lama di jalan Surabaya, kemudian bergerak lagi ke arah Jalan Diponegoro No.57. Ada rumah yang menyimpan banyak kisah di sana. Rumah yang pernah tak sanggup membayar pajak negara.

Ya, rumah Bung Hatta. Salah satu perumus proklamasi kita bahkan merasakan juga sulitnya membayar pajak rumah. Namun, di tahun 2019, keluarga mendiang Bung Hatta mendapatkan pembebasan biaya Pajak Bumi dan Bangunan.

Dokumentasi grup Wisata Kreatif Jakarta

Rumah Bung Hatta| Dokumentasi pribadiBioskop Megaria

Lepas dari rumah mendiang Bung Hatta, kami bergerak lagi menuju bioskop lawas yang kini sudah berganti nama menjadi Metropole. Sebelum menjadi metropole namanya adalah Megaria.

Dibangun pada 11 Agustus 1949 sampai dengan 1951. Premier film pertama yang tayang di sana adalah Annie Get Your Gun. Berbeda dengan saat ini di mana premier film mendatangkan banyak artis. Di masa itu yang hadir adalah istri wakil presiden, yaitu Ibu Rahmi Rachim.

Dokumentasi grup Wisata Kreatif JakartaMonumen Proklamasi

Lepas dari berfoto di pelataran Metropole (dulu Megaria), kami pun berpindah ke tujuan akhir, yaitu Monumen Proklamasi.

Di lokasi ini terdapat 3 tugu. tugu petir, tugu peringatan ulang tahun proklamasi, dan tugu proklamator yang masing-masing memiliki makanya sendiri.

Sayangnya, kami nggak bisa foto dekat dengan monumen tokoh-tokoh itu. Dikarenakan ada keluarga beliau yang hari ini sedang berkunjung. 

Jadi foto sedanya aja, ya. 

Tugu Petir| Dokumentasi pribadi

Dokumentasi pribadiDan, akhirnya, saya pun sampai di akhir tulisan ini. Semoga teman-teman nggak bosan bacanya.


Dokumentasi pribadi


Ini totebag yang diberikan pihak Disparekraf sebagai suvenir untuk para peserta yang berpartisipasi dalam rangakaian tur ini.



Dokpri // souvenir  dari Disparekraf

Dokpri // souvenir dari Disparekraf


Bergabung di Kompasiana sejak 2011 tidak pernah merasa rugi. Karena saya selalu mendapat kesempatan meng-upgrade diri. Event Koteka yang bekerja sama dengan Mbak Ira dari Wisata Kreatif Jakarta dan Disparekraf ini semakin menambah semangat saya untuk terus menulis dan memberikan informasi pada banyak orang melalu tulisan.

Terima kasih Kompasiana, terima kasih Koteka, terima kasih Wisata Kreatif dan Disparekraf. Juga terima kasih juga untuk teman-teman AMJ.  Dan, saya pribadi sangat menunggu event-event serupa diadakan lagi. 


Salam sayang,
Ajeng Leodita


Tulisan ini juga posted di sini

Museum Keraton Sumenep - Ada Raja Sumenep yang Bisa Bicara dari Dalam Kandungan Ibunya


Bulan Juli 2023 lalu, saya mendapat tugas dari kantor untuk mengunjungi area Jawa Timur. Pulau Madura pun masuk dalam daftar kunjungan. Saya begitu bersemangat bisa sampai di pulau ini. Rasa lelah selama 1 minggu berpindah dari satu kota ke kota lain rasanya hilang saat mobil dinas yang membawa saya dan team melintas di Jembatan Nasional Suramadu. Jembatan megah yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura ini memiliki panjang 5.438 meter. Jembatan ini nampak mewah jika dilihat pada malam hari karena ada Art Lighting yang katanya mirip dengan tata cahaya gedung pencakar langit Empire State Building di Amerika Serikat.

Selain penghasil garam, apa lagi yang kita kenal dari Madura? Sate, soto, petis, terasi, karapan sapi, nasi bebek sinjay? Apa ada yang tahu bahwa di Madura ada salah satu obyek wisata sejarah yang sangat menarik untuk didatangi?

Yuk, saya ajak jalan-jalan, ya.


Dokpri

Sumenep adalah salah satu kabupaten di Pulau Madura. Sebutan lain untuk Sumenep adalah Kota Keris di Tanah Garam, mengingat Sumenep adalah penghasil keris terbesar di Indonesia.

Beberapa objek wisata yang ada di Sumenep, antara lain : Asta Tinggi (Makam raja-raja Sumenep), Kota Tua Kalianget (simbol kejayaan Madura sebagai salah satu penghasil garam terbesar di Indonesia), Pulau Gili Iyang (dikenal juga sebagai Pulau Awet Muda karena memiliki kadar oksigen tertinggi nomor 2 di dunia) dan Museum Kraton Sumenep.

Dengan alasan waktu yang sempit, saya memilih untuk datang ke Museum Sumenep yang hanya berjarak kurang lebih 1Km dari lokasi kunjungan kerja saya.

dokpri

Museum Kraton Sumenep ini terletak di Jalan DR.Soetomo no.6. Kami tiba di lokasi kurang lebih pukul 2 siang. Pertama kali saya sempat bingung di mana loket masuknya. Karena ada bangunan lain yang kelihatannya jauh lebih besar dari museum itu sendiri dan lebih cepat menarik perhatian. Bangunan itu ternyata tempat menjual cinderamata khas Sumenep.

Loket berada di sisi kanan. Saat itu kami masuk berempat karena saya juga mengajak 3 orang teman kantor. Tarif yang dikenakan cukup murah, hanya 20.000. Jadi terhitung hanya 5.000/orang. Dan tarif itu diperuntukkan untuk kunjungan ke 2 lokasi yaitu, Museum Kraton dan Keraton Sumenep.

Kami ditemani tour guide yang saya lupa siapa namanya (maaf ya pak) usianya saya taksir sekitar 65-70 tahun. Sebut saja namanya Pak Ahmad, ya.

Pak Ahmad mengarahkan kami ke bangunan Museum Sumenep lebih dulu karena lokasinya bersisian dengan bagunan loket. Museum ini hanya ada 1 lantai. Ukurannya pun tidak terlalu besar.

Dokpri

Pemandangan pertama kami disuguhi sederet foto tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Bupati dan Sekretaris Daerah Sumenep, antara lain :

  • Raden Adipati Aryo Samadikoen
  • R.P Amidjoyo
  • R.P Moch Ali P.Koesumo
  • R. Moch Roeslan W.Koesumo
  • R. Moch Roeslan Tjakraningrat
  • Achjak Sosro Soegondo
  • Drs. Abdoerrachman
  • dll

(Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan nama dan gelar, hanya menyadur tulisan yang menempel di foto para tokoh tersebut)

Replika Cellong Pajenangger

DokpriAlat transportasi laut ini pernah digunakan pada tahun 1912 oleh orang-orang suku Bugis untuk berlayar ke wilayah Sumenep. Ada hal unik juga lho, karena dalam sejarahnya orang-orang dari Bugis sering datang ke Sumenep, di Kecamatan Sapeken masyarakatnya mayoritas berbahasa Sulawesi (termasuk bahasa Bugis), yang menemukan wilayah Sapeken ini juga justru orang-orang Bugis. Unik, ya. :D


Kereta Kencana / Kereta Mellor (My Lord)

Dokpri // Kereta Melor (My Lord)

Sultan Pakunataningrat / Sultan Abd.Rachman adalah sosok pemimpin Kerajaan Sumenep periode ke-32.  Beliau mendapatkan gelar doktor dari Ratu Inggris karena berhasil menerjemahkan bahasa sansekerta pada sebuah prasasti ke dalam bahasa Inggris dan diberi hadiah kereta melor (aslinya My Lord) yang saat itu diserahkan oleh Gubernur Raffles.

Namun, menurut beberapa sumber, kereta yang terpajang di museum itu bukanlah kereta asli, melainkan replika. Karena yang tersisa dari kereta melor itu hanya roda dan pirnya saja. 

Namun, proses pembuatan replika itu pun tidak asal-asalan. Sekitar tahun 90an salah satu pejabat teras Sumenep bernama Haji Kurniadi meminta bantuan kepada pihak Keraton Yogyakarta. Akhirnya, dikirimlah 7 orang yang ahli dalam pembuatan kereta ke Sumenep untuk melakukan tirakat di Asta Tinggi, yaitu makam raja-raja Sumenep. Setelah 7 hari 7 malam bertirakat. Ketujuh ahli pembuat kereta itu mendapatkan petunjuk secara batin yaitu rupa kereta yang akan dibuat replikanya.


Pengadilan / Tempat Sidang Keraton Sumenep

Dokpri

Dokpri // Rotan tempat menaruh berkas

Dokpri // Kursi Raja

Dokpri // 2 kursi saksi

Dokpri // tempat duduk terdakwa

Kala itu jika ada yang berbuat kejahatan maka akan diadili oleh raja. Ada 1 buah kursi untuk raja, 1 tempat berbentuk keranjang persegi panjang dari bahan rotan untuk meletakkan berkas-berkas, 2 buah kursi saksi, dan tempat duduk terdakwa yang bentuknya serupa piring besar. Saya nggak bisa membayangkan seramnya jika ada yang diadili saat itu.


Kursi Santai

Berbentuk kursi goyang yang memiliki style Eropa. Terdapat 4 buah kursi dengan 1 meja bundar. Dokpri
Lambang Kerajaan Sumenep

Terdiri dari mahkota, kuda terbang, naga terbang dan bunga mawar. Mari kita bahas satu per satu. Dokpri

Mahkota melambangkan kekuasaan.

Kuda terbang melambangkan Kuda Panule, kuda ini adalah kendaraan yang dipakai Joko Tole untuk berperang. Joko Tole merupakan salah satu raja Sumenep yang konon katanya hasil dari pernikahan bathin sehingga banyak yang tidak percaya. Oleh karena itu, saat Joko Tole lahir, ia dianggap sebagai anak dari hasil hubungan di luar nikah, lalu ia dibuang di hutan. 

Sejak kecil Joko Thole sudah memiliki keahlian membuat perkakas tanpa alat bantu. Kemudian ia dimintai bantuan untuk membangun pintu raksasa Kerajaan Majapahit yang akhirnya membuatnya bisa menikah dengan Dewi Ratnadi (putri dari Patih Majapahit). Hal itu pula yang membawanya bisa kembali bertemu dengan R.A Potre Koneng, ibu kandungnya. Setelah itu Joko Thole dilatik menjadi Raja Sumenep.  

Naga terbang melambangkan belati milik Bindhara Saut saat bertapa. Bindhara Saut adalah putera dari Kyai Abdullah. Kyai Abdullah sendiri merupakan putra dari Kyai Abdul Qidam atau Raden Pandiyan, putra dari Raden Rajasa (Pangeran Lor II) salah satu raja kerajaan Sumenep.

Bindhara Saut memiliki keistimewaan yaitu saat masih berada dalam kandungan ibunya (Nyai Nurima) ia bisa menjawab salam dari ayahnya. Bindhara Saut ini adalah kakek dari Sultan Pakunataningrat / Sultan Abd.Rachman yang menerima hadiah kereta melor yang saya jelaskan di atas.

Mawar melambangkan sebagai pemimpin haruslah memiliki sifat baik dan mulia terhadap rakyatnya. Indah dilihat dari jauh dan harum dari dekat.


Ranjang Panembahan Sumolo

Dokpri

Panembahan Sumolo (Pangeran Natakusuma I) adalah putra kedua Bindhara Saut dari istri pertamanya, Nyai Izzah. Beliau memiliki sifat yang alim yang diturunkan oleh keluarga besarnya yang merupakan trah kyai. Panembahan Sumolo mewakafkan tanah untuk kepentingan fakir miskin termasuk membangun sebuah masjid yang dinyatakan dalam wasiat khusus. Kemudian diberi nama Masjid Jamik Penembahan Somala. Beliau juga yang membangun Keraton Sumenep


Al Quran Raksasa

Dokpri

https://www.erianggorokasih.com/

Al Quran ini ditulis pada tahun 2005 saat Sumenep menjadi tuan rumah MTQ - Jawa Timur. Memiliki panjang 4 meter, lebar 3 meter dengan berat 500kg. Penulisnya adalah Ibu Yanti warga Bluto, Sumenep.

------------------------- |||-----------------------------

Saya pribadi berharap adanya sedikit perbaikan dari pemerintah Sumenep untuk Museum Kraton ini. Saat ini kondisinya tidak bisa dikatakan sangat baik. Pencahayaan ruangan yang seadanya juga sedikit mengganggu. Suasana dalam museum menjadi terasa agak creepy. Ditambah lagi dengan promosi yang seharusnya lebih gencar sehingga pengunjung yang datang jauh lebih banyak. Museum adalah asset. Oleh karena itu sebaiknya terus dirawat sehingga siapapun yang berkunjung akan merasa terkesan.
dokpri// kaca lemarinya terlihat kusam

dokpri

dokpri

dokpri // Nama Gelar Raja-raja Sumenep

Tim saya di Madura 

Oh, ya, sekadar saran. Untuk yang ingin datang berkunjung jangan lupa nanti beri tips kepada tour guide-nya, ya. Karena tanpa mereka mungkin kita akan bingung jika hanya melihat benda-benda peninggalan Kerajaan Sumenep ini tanpa mengetahui sejarahnya yang ternyata cukup panjang.

Oke sampai di sini dulu ceritanya,


Terima kasih.



Tulisan ini juga posted di sini