Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Senin, 30 Oktober 2023

Workshop Himpunan Pramuwisata Indonesia "Membuat Live Streaming dan Video Reels" di Acaraki Jamu - Kota Tua Jakarta








Tahun 2020-2022, Pandemi Covid 19 melumpuhkan banyak sektor ekonomi, salah satunya industri pariwisata. Artinya, selama 2 tahun lebih merajai dunia, Covid telah sukses membuat banyak destinasi wisata sampai harus tutup baik sementara maupun permanen akibat tidak mampunya income menutup biaya operasional yang terus berjalan.


Selain pengelola tempat wisata yang merugi dan masyarakat yang tak bisa lagi berwisata, ada pula pihak lain yang mungkin terlupa dari pembahasan yang marak ini, pihak yang memang menaruh harapan pada industri ini. Tak lain dan tak bukan adalah pramuwisata atau pemandu wisata. Bagaimana mungkin tidak terdampak jika definisi dari pramuwisata sendiri saja adalah seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penjelasan dan petunjuk tentang objek wisata serta membantu keperluan wisatawan lainnya. Lantas, apa yang mau dijelaskan dan ditunjukkan jika tempat wisatanya saja ditutup?


Padahal menjadi seorang pramuwisata tidak mudah, Bestie! Tak hanya sekadar memiliki kemampuan mengerti banyak bahasa atau lancar public speaking saja. Melainkan sebagai pramuwisata, mereka harus memahami sejarah dan segala hal-hal detil yang berhubungan dengan tepat wisata yang sedang dikunjungi.  Selain itu, ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh, dan itu tidak bisa didapatkan secara instan. Ada sertifikat yang harus dimiliki.

Salah satu profesi yang keren di Indonesia (menurut saya) ya pramuwisata ini, karena pekerjaan mereka diatur oleh undang-undang.


Salah satunya sbb:


Pada Undang -- Undang Republik Indonesia tentang Kepariwisataan bab IV (pasal 9 : 1) butir c bahwa pramuwisata termasuk dalam jenis-jenis usaha jasa pariwisata. Hal ini menunjukan bahwa jasa pramuwisata dibutuhkan dalam kegiatan pariwisata. Peranan pramuwisata dalam pariwisata adalah sebagai ujung tombak yang dapat menentukan keberhasilan sebuah pelayanan perjalanan wisata.


Dalam proses menjadi seorang Pramuwisata profesional, seseorang harus melewati beberapa tahapan. Yakni, Pramuwisata Muda, Madya dan Pengatur Wisata atau Tour Guide. Masing-masing memiliki sertifikasinya sendiri yang mempengaruhi batas ruang lingkup pekerjaan mereka sebagai pramuwisata.

Sepanjang pandemi, masyarakat menjadi akrab dengan media sosial. Selain karena banyak yang akhirnya terpaksa harus bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) demi meminimalisir kemungkinan penyebaran virus yang makin luas. Ada pula yang memang terkena PHK karena perusahaannya mengalami collapse.


Kian banyaknya pengguna media sosial dalam hal ini mereka yang juga memanfaatkan digital platform audio-visual seperti Youtube, Tiktok, dan Instagram, memunculkan ide dari generasi kreatif untuk mengambil kesempatan menjadi seorang content creator.


Content creator yang khusus berfokus pada digital platform audio-visual  adalah orang yang membuat konten baik berupa gambar ataupun video. Saat ini content creator sudah dilabeli sebagai profesi yang cukup layak untuk dipertimbangkan.


Banyak karyawan memilih resign dari tempat bekerja untuk fokus menjadi seorang content creator. Alasannya cukup sederhana, yakni: pola kerjanya suka-suka, tidak ada jam kerja yang mengikat, dan penghasilannya bisa lebih besar dari mereka yang berstatus karyawan.


Destinasi wisata menjadi salah satu sasaran empuk. Jika menemukan lokasi hidden gem alias belum banyak orang yang tahu, sang creator bak mendapat harta karun; Followers makin banyak, dihujani like, dan muaranya ke mana? Income, dong.


Munculnya konten-konten yang secara khusus menyuguhkan video-video destinasi wisata ini masuk dalam pengertian Digital Tourism. Hal dianggap cukup berhasil membangunkan sektor wisata dari mati suri akibat pandemi.


Tak bisa dipungkiri, jika masyarakat lebih mudah tertarik mendatangi lokasi wisata setelah melihat cuplikan gambar hidup yang seakan bisa membawa si penonton itu merasa benar-benar sudah berada di sana. Gambar yang dibuat sedemikian rupa setelah melalui proses editing sehingga video yang dibagikan nampak terlihat lebih ciamik, bahkan bisa jadi lebih bagus video-nya daripada aslinya, hehehe.


Jika dulu media sosial hanya digunakan sebagai tempat beriklan dengan mengandalkan foto, kemunculan content creator berbasis wisata ini membuat sebuah gebrakan dengan membuat konten-konten berupa video review saat mereka berkunjung ke lokasi tersebut. Bakan ada yang menyajikannya dalam bentuk live streaming, sehingga para pengikutnya bisa secara langsung berinteraksi tanya jawab di saat yang sama. Hal itu jelas memiliki nilai lebih dari pada sekadar foto.


Dari sisi keuntungan, masyarakat mendapatkan informasi cepat dari media digital sehingga tergerak untuk segera mengatur rencana liburan. Tempat wisata perlahan mulai kembali beroperasi normal. Penginapan di sekitar tempat wisata pun tak lepas dari sasaran pengunjung dan tempat-tempat kuliner juga ikut kecipratan rejeki. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada pendapatan daerah yang juga meningkat dengan gejolak ini.


Melihat perkembangan ini,dan sebagai bentuk dukungan pada pemerintah untuk sosialisasi Digital Tourism, DPD HPI Jakarta yang saat ini diketuai oleh Mas Indra Dwiangkara, mengadakan workshop untuk para anggotanya pada, Selasa, 24 Oktober 2023 kemarin. Acara tersebut dilaksanakan di Acaraki Jamu, Kota Tua, Jakarta Pusat. Kurang lebih 20 anggota HPI hadir, namun beberapa tidak bisa ikut dikarenakan sedang on duty, walau begitu acara tetap berlangsung seru.




Acara dibagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama yakni, cara belajar melakukan live streaming Instagram. Sesi 2 yakni, cara membuat video konten untuk reels Instagram. Dua pemateri yang membagikan ilmunya adalah mas Irfan dan Mbak Dwinda, keduanya merupakan anggota HPI juga.




Semua anggota yang terlibat dalam workshop diminta melakukan live streaming yang menceritakan bahwa mereka sedang berada di cafe Acaraki, mulai dari menunjukkan view hingga bahan dan cara pembuatan jamu yang menjadi icon Acaraki.




Melihat antusiasme dari para anggota HPI yang hadir, membuat Mbak Ira Lathief sebagai salah satu pengurus, berharap agar para pramuwisata se-Indonesia yang berada dalam naungan HPI semakin kreatif dan bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di industri pariwisata saat ini. Karena ini akan cukup berpengaruh pada eksistensi profesi mereka yang makin hari makin banyak peminatnya. Ditambah lagi dengan upaya yang sudah mereka lakukan sampai di titik ini. Bahkan di acara kemarin, salah seorang anggota HPI berusia sekitar 70 tahun bernama Ibu Julianti dengan penuh semangat datang untuk belajar bersama anggota lain yang lebih muda. Jelas beliau begitu menikmati acara ini. Beliau pun membagikan cerita perjalanannya menjadi tour guide hingga seusia ini.




Sedikit banyak mungkin seperti quotes manis ini,


"Mendapatkan kebahagiaan berarti berbuat baik dan bekerja, tidak berspekulasi dan bermalas-malasan. Kemalasan mungkin terlihat menarik, tetapi hanya pekerjaan yang memberimu kepuasan sejati." - Anne Frank


Salam sayang,

Ajeng Leodita💓





Perundungan di Sekolah Bukan Hanya Antar Siswa, Lho?


sumber gambar : umsu.ac.id





Sekolah merupakan lembaga mengajar dan belajar. Di dalamnya tentunya berisi guru dan murid juga sejumlah staff yang juga memiliki kontribusi atas keberlangsungan aktivitas belajar mengajar agar berjalan lancar. Namun, jangan lupakan keberadaan para wali murid yang kerap hadir di sekolah. Baik untuk memantau perkembangan pelajaran anak-anaknya juga memantau interaksi yang terjadi di sekolah. Idealnya begitu.


Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, lembaga ini mulai dicemarkan dengan kasus -- kasus yang terjadi di dalamnya. Baik itu tindak kekerasan antara guru dengan murid pun sebaliknya, antara murid dan murid, juga beberapa aksi lain yang sampai masuk ke ranah kriminal. Salah satunya tindakan bullying yang kini kian meresahkan yang dampaknya berpengaruh pada mental anak-anak yang mendapati perundungan tersebut.


Akan tetapi ternyata bullying di lingkungan sekolah tidak hanya terjadi di antara mereka yang terdaftar sebagai guru, siswa/i, maupun staff yang bekerja saja, melainkan ada pula kasus perundungan yang terjadi antara orang tua murid. Dan ini terjadi di lingkungan sekolah anak saya.



Kondisi ekonomi masing-masing orang tua murid dalam satu sekolah pastinya tidak sama. Mayoritas orang tua murid yang memiliki ekonomi dari level medium to low akan memilih sekolah pemerintah yang menawarkan pendidikan gratis, termasuk saya. Namun, saya pun tidak begitu saja menyerahkan proses belajar mengajar itu pada pihak sekolah, tentunya saya sebagai orang tua juga memberi dukungan dengan melanjutkan apa yang sudah didapatkan anak saya dari gurunya. Bahkan dari sebelum dia terdaftar di sekolah, anak saya sudah saya bekali pelajaran-pelajaran dasar yang sekiranya mudah untuk ia pahami agar saat awal masuk sekolah dia tidak mengalami stress.


Loh, bukannya sudah diatur kurikulum sesuai dengan tingkatan sekolah? Kenapa sampai stress?


Begini, anak saya ini mengalami bullying sampai di dua tingkatan sekolahnya. Pertama saat masuk di tingkat Taman Kanak-kanak (TK) yang kedua di tingkat SD.


Usianya saat itu 5 tahun. Di rumah, ayahnya memang membiasakan anak saya bicara dalam Bahasa Inggris. Hal itu bukan sekadar sok-sokan. Tapi mengingat biaya les inggris yang tidak murah, kenapa tidak mulai diajarkan sejak dini?


      

KUNCI JAWABAN TOPIK 19 MODUL 6

Kompasiana.com

Recommended by

Masuklah anak saya ke salah satu TK yang ada di lingkungan dekat rumah. Di sana diberi aturan, orang tua hanya boleh antar-jemput. Jika mau menunggu, jangan di dalam sekolah. Walau berat tapi melihat kemampuan orang tua yang lain, saya pun coba untuk menjalankan aturan yang sudah ada.


Seminggu pertama anak saya masih belum bisa berinteraksi dengan teman-temannya. Mulanya saya pikir karena masih awal tahun ajaran, dan dia masih mempelajari dan mengenal teman-temannya. Masuk di minggu ke dua masih sama, bahkan ia hanya mengenal 1 nama temannya dari 15 siswa dalam kelas. Saya ingat betul nama anak itu Rizki.


Di minggu ketiga, muncul perubahan sikap dari anak saya, yakni ia jadi malas ke sekolah. Tiap kali dibangunkan pasti nangis. Nangis yang terkesan sangat sedih. Saya tanyakan langsung pada anak saya, Toby namanya. Apa ada yang membuatnya tidak nyaman? Atau dia sudah melakukan kesalahan? Dia hanya menjawab jika dia tidak mau sekolah lagi. Dia mau di rumah saja.


Saya mulai cari tahu ke gurunya, apa yang yang salah, anak saya atau bagaimana? Gurunya hanya menjawab "Masih tahap adaptasi, Bu. Wajar saja kalau Toby begini." Mungkin karena perasaan orang tua, rasanya saya nggak cukup percaya dengan alasan sesederhana itu.


Saya coba ajak anak saya nonton film anak-anak. Di mana ada adegan siswa dan siswi dalam sebuah sekolah bermain dengan sangat akrab. Saya tanyakan lagi, apa dia melakukan hal yang sama seperti kondisi di dalam film? Dengan tegas dia bilang, "tidak".


Pelan-pelan saya coba pancing agar semua yang ia pendam bisa tersampaikan. Ternyata, selama ini dia tidak cukup percaya diri untuk menggunakan Bahasa Indonesia di luar rumah. Sehingga jika ada temannya yang ngobrol dia hanya mendengarkan. Dia paham apa yang sedang dibicarakan tapi sulit untuk menjawab dengan Bahasa Indonesia jika mendapatkan pertanyaan dari temannya.


Sejak itu, teman-temannya mulai melakukan perundungan. Saat Toby sudah mulai berani untuk bicara mereka malah meledek dengan ucapan-ucapan yang tidak saya kira bisa dilakukan anak seusia itu.


"Toby kamu nggak bisa ngomong? Kamu gagu, ya? Ngomong kamu kok nggak jelas, sih? Aaaa..ee...aa...ee ngomong apa, sih?"


Berulang-ulang tiap kali anak saya mulai buka suara, tanggapan demikian yang terlontar dari teman-temannya. Jujur, sedihnya luar biasa ketika tahu anak saya mendapatkan perlakuan demikian. Pastinya semua orang tua akan merasakan perasaan yang sama jika mengalami hal ini. Saya tidak menyalahkan anak-anak itu, karena umurnya juga bisa dikatakan belum paham kalimat apa yang sekiranya bisa menyakiti orang lain. Saya juga tidak menyalahkan orang tua mereka. Karena hal itu terjadi di luar rumah, saya dan mereka sama-sama mempercayakan interaksi mereka di sekolah pada gurunya.


Lantas 'bagaimana sikap gurumu saat kamu diperlakukan begitu?' pun tak luput saya tanyakan pada anak saya. Ia hanya menjawab, 'gurunya nggak lihat'. Baiklah, pada akhirnya saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa selain diri sendiri.


Setelah itu anak saya jadi benar-benar tidak mau sekolah. Saya coba ajak ke sekolah lain, tetap membuatnya tidak tertarik. Akhirnya saya skip tingkat TK, untungnya di sini pendidikan TK tidak wajib. Tanpa ijazah TK, anak-anak tetap bisa melanjutkan ke Sekolah Dasar.


Trauma itu berjalan sampai hampir 2 tahun, di mana seharusnya dia sudah masuk SD pada usia 7 tahun tapi malah baru dilakukan saat dia usia 8 tahun. Saya masih mencoba terus untuk membuatnya punya semangat untuk sekolah lagi. Untungnya rumah kami yang sekarang posisinya dekat dengan salah satu SD Negeri. Kebetulan juga ada keponakan saya yang juga bersekolah di sana. Mantap sudah saya menyekolahkan Toby di sana, hal itu pun didukung dengan pendekatan yang dilakukan sepupunya agar dia mau mulai sekolah lagi.


Dan berhasil. Toby mulai mau sekolah, bahkan bangun pagi pun tak menunggu ada yang membangunkan. Di masa awal tahun saya masih ketar ketir hal yang sama terjadi lagi, saya takut anak saya kembali trauma, namun ternyata tidak, karena wali kelasnya ternyata memang guru Bahasa Inggris, sehingga apa yang sekiranya Toby tidak mengerti atau tidak paham, wali kelasnya bisa menjelaskan dalam Bahasa Inggris, yang menurut anak saya lebih mudah. Wali kelasnya pun setiap hari memberikan laporan melalui pesan singkat, mengabarkan perkembangan Toby dan juga mengingatkan saya dan papanya untuk lebih sering membiasakannya berBahasa. Memang dalam berkomunikasi Toby masih sulit, masih pasif di kelas, lebih banyak diam dan menyendiri, walaupun dalam menangkap pelajaran ia bisa dikatakan cukup baik, bahkan di atas rata-rata. Hal ini sebenarnya belum cukup membuat saya lega, karena yang lebih saya harapkan adalah dia bisa berkomunikasi dengan teman-temannya.


Kabar tentang Toby yang tidak punya ijazah TK, masuk sekolah di usia yang terlambat, dan bisa berbahasa Inggris itu sampai pula ke kumpulan wali murid di kelas. Ternyata anak mereka kerap bercerita pada orang tuanya perihal Toby yang terkesan pendiam di kelas karena Toby nggak bisa Bahasa Indonesia. Istilah "nggak bisa" dan "belum bisa" tentunya berbeda makna, tapi berhubung yang menyampaikan adalah anak SD kelas 1 jadi ya saya wajarkan. Alih-alih mendapat dukungan dari wali murid lain, berganti saya yang mendapatkan perundungan itu.


"Harusnya Toby nggak sekolah di sini, di sekolah internasional sana."


"Makanya jangan sok pake anak dibiasain Bahasa Inggris, sekarang susah sendiri,"


"Cari duit lebih rajin lagi, kasian tuh anak kena imbasnya,"


Lagi-lagi saya cuma bisa mengelus dada mendapati kalimat-kalimat itu tertuju pada saya. Ya, kalimat-kalimat pedas itu memang ada benarnya. Seharusnya saya begini, seharusnya saya begitu, tapi ternyata kondisinya kan begini, nggak begitu. Ya, nggak? Hehehe.


Jawaban spontan saya saat itu, "Doakan ya saya banyak rejeki, jadi saya bisa pindahkan dia ke sekolah lain yang lebih cocok,"


Apakah saya sudah merasa puas hanya dengan membalas demikian? Tidak!


Mulanya saya panas hati dengar kalimat-kalimat perundungan itu. Sempat sampai menangis. Setengah mati saya menahan diri untuk tidak mengomentari opini mereka dengan level kepedasan yang sama. Kemudian, saya coba ambil waktu untuk menangkan diri. Saya coba tulis di kertas, ucapan-ucapan menyakitkan yang saya dengar atau saya baca. Saya tarik napas berulang kali, saya baca lagi tulisan itu berulang sampai hati saya tenang. Sampai akhirnya saya mendapatkan esensi dari yang mereka sampaikan. Berusaha berpikir positif bahwa saya punya alasan yang baik mengapa memutuskan ini dan itu untuk keluarga terutama anak-anak saya.


Lantas apa lagi yang saya lakukan selanjutnya? Ya, saya abaikan saja. Toh, alasan utama kami mengajarkan anak Bahasa Inggris sejak dini hanya supaya nggak perlu les, karena biayanya bisa dialokasi ke hal-hal lain. Dan itu terbukti, saat teman-temannya harus les Inggris, mereka harus extra biaya lagi, waktu istirahat anak-anak juga berkurang. Sementara Toby, bisa istirahat di rumah atau mengulang pelajaran yang lain, uangnya bisa untuk keperluannya yang lain atau yang mau dia beli.    


Pada akhirnya saya tahu, kekuatan menghadapi masalah itu muncul dari diri sendiri. Keputusan kita mengambil langkah dalam hidup itu bukan hal yang perlu dijelaskan pada pihak luar. Kita yang paling tahu kemampuan kita, kita paling tahu apa mimpi kita, kita yang mengelola hidup kita. Dan kita tidak bisa mengatur apa yang keluar dari mulut orang lain tentang kita, yang perlu kita kelola adalah pola pikir kita untuk bisa menyaring mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang perlu dijadikan pembelajaran, dan mana yang cukup diabaikan.


Yakinlah, tidak semua perundungan muncul karena kesalahan kita, keburukan kita, hal dari diri kita yang terbaca negatif di mata orang lain. Perundungan itu bisa jadi bentuk rasa iri dan ketidakmampuan mereka untuk melakukan hal yang sama.


Bekasi,


29 Oktober 2023



Juka published di https://www.kompasiana.com/tobyalaric/653e0fc1edff761fb557d423/perundungan-di-sekolah-bukan-hanya-antar-siswa-lho?


Minggu, 22 Oktober 2023

Setelah Sakit, Baru Paham Siapa Support System yang Sebenarnya


 

id.quora.com


Lagi hits sekarang orang membahas tentang support system. Alias sistem pendukung. Ada pasangan yang sampai pisah cuma karena dianggap salah satunya nggak bisa jadi support system. Ada pertemanan yang bubar perkara tidak bisa jadi support system. Sebenarnya apa sih support system itu? Menurut Gramedia.com, support system adalah sebutan bagi orang-orang yang bisa membantu serta selalu berada disampingmu dalam keadaan apapun terutama dalam keadaan susah.

Lalu siapa support system dalam aktivitas blogging saya selama ini?

 

ORANG TUA





Dulu, orang tua saya tidak tahu saya ini hobi menulis. Mungkin juga pola saya yang salah, karena jaman baru kenal dunia blogging saya menukar jam tidur dengan jam aktivitas. Melek di jam 6 sore sampai pagi, tidur di jam 10 pagi hingga sore, begitu seterusnya.  Tentu saja hal itu berpengaruh pada banyak hal. Terutama kesehatan. Akhirnya di 2012 saya ambruk. Masuk RS hingga 2 kali dalam sebulan. Pernah jalani rawat inap selama seminggu di Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo Cisarua Bogor karena ruang isolasi di RS langganana Jakarta penuh. Tiap hari melihat pasien yang "berpulang" melintas di depan kamar saya. Drop,ga? Jelas. Makin parah.

Pernah mengalami beberapa kali tak sadar diri. Bahkan dokter sampai bilang saya susah sembuh. Hal ini terjadi karena saya bedagang sambil merokok, aduh. Infeksi paru membuat saya drop berkepanjangan, bukan cuma itu, ada pula infeksi ginjal yang membuat tubuh saya menguning. Mama dan papa saya sampai sedih banget melihat kondisi saya. Namun, mama dan papa saya, dua orang yang nggak pernah meninggalkan saya. Mereka rela bolak balik Jakarta-Bogor demi bergantian menjaga saya. Padahal saat itu masih ada adik perempuan saya yang masih sekolah.

Akhirnya, yang disalahkan bukan cuma saya, tapi sampai ke aktivitas saya yang lain, yakni menulis itu sendiri. Mama saya bilang menulis itu hanya menambah penyakit, banyak berkhayal. Jadi nggak rasional.

Sedih banget rasanya, tapi mau gimana lagi? Toh, saya juga yang salah.

Namun perlahan tapi pasti saya tunjukkan ke orang tua bahwa dari menulis ini saya justru merasa bahagia, kalaupun sampai sakit itu bukan karena aktivitas menulisnya, melainkan pola hidup saya yang salah.

Tapi saya pun maklum mengapa kedua orang tua saya berpikir demikian, keduanya memang tidak terbiasa dengan dunia literasi. Dari keluarga besarnya pun tidak. Saya bisa dibilang sebagai pioneer dalam keluarga besar yang mulai membudayakan dengan tulis menulis. Bahkan seketurunan kakek dan nenek dari pihak mama maupun papa cuma saya yang nulis.

Ingat pertama kali mama bisa menghargai hobi saya ini, waktu tulisan saya masuk di halaman Freez, lembar yang disediakan untuk blogger-blogger di Kompasiana yang tulisannya layak cetak. Di situ mama mulai percaya bahwa saya tidak setengah-setengah dengan hobi ini.

Kompasianival 2012




Saya bangga ketika mama cerita ke teman-temannya bahwa anaknya adalah seorang blogger. Lebih bangga ketimbang mama cerita kalau anaknya seorang karyawan swasta walaupun sudah memiliki puluhan anak buah. Saya merasa pintar aja gitu disebut blogger. Ya, walaupun tetap di bawah rata-rata, 😞😞

 

Kemudian saya pun mulai ikut membuat antologi bersama teman-teman komunitas fiksi. Terhitung sudah hampir 9 antologi yang saya buat bersama komunitas. Beberapa di antaranya karena saya menang event. Makin saja dukungan moriil itu muncul dari kedua orang tua.

 

Satu momen yang nggak akan saya lupa, waktu ada acara ulang tahun Kompasiana yang biasa disebut Kompasianival di tahun 2012, dengan masih dalam kondisi belum benar-benar sehat, Mama mengantar saya ke acara itu. Beliau memapah saya mulai dari turun mobil sampai dengan ke lokasi acaranya yang saat itu diadakan di sebuah Mall di Jakarta Selatan.

Beliau menemani sampai acara selesai, saya melihat wajahnya yang lelah tapi tetap semangat demi anak sulungnya yang penyakitan ini. Oh, ya, sebenarnya sakit itu seperti teman baik buat saya. Mengingat sejak SD saya memang hobi banget keluar masuk rumah sakit.

Beberapa teman Kompasiana yang melihat mama menemani saya sampai salut, begitu besar perhatian mamak saya itu pada anaknya ini.

 

SUAMI



Di Kompasianival 2012 itu saya bertemu dengan Kompasianer Bandung. Salah satu alasan saya mau datang juga karena kami mengurus satu boot milik komunitas fiksi di mana saya dan kompasianer Bandung itu menjadi adminnya. Namanya Bung Opik. Itu memang pertama kali kami ketemu setelah 1 tahun berteman di dunia maya. Bung Opik jugalah yang memberikan dukungan supaya saya sembuh. Karena selama sakit, saya jadi off menulis, off media sosial, bertugas “ngadmin” pun hanya sesekali muncul saja jika kepala tidak sedang sakit.

Lepas dari pertemuan itu, hubungan kami berlanjut jadi pacaran eaaakkkk 😅😅😅😅

Nggak lama-lama, cuma setahun dari pertemuan itu kami pun menikah. du...du...du....

Nama aslinya Taufik Rahmadiyanto. Selisih usia kami 3 tahun. Salah satu alasan saya tertarik sama Pak Suami karena memang karena kami punya hobi yang sama. Sama-sama suka nulis fiksi. Dia kerap merevisi tulisan-tulisan fiksi saya. Suka bantu menambah perbendaharaan kata. Bantu mengatur alur dan membuat ending yang menarik. Nggak semua penulis seberuntung saya, kan? Hehehee.

Setelah kami punya anak, waktu untuk saya ngeblog jadi nggak banyak. Karena selain saya bekerja, dia pun juga. Kami menitipkan anak pada orang tua saya yang memang kami tinggal serumah. Eh, ini permintaan mama, ya. Kalau maunya saya dan suami, kami tinggal terpisah. Tapi karena saya yang sering sakit-sakitan, bikin mama jadi khawatir. Makanya beliau nggak mau jauh-jauh.

Setelah anak saya yang pertama masuk SD dan yang kedua sudah 4 tahun, suami menyarankan saya untuk kembali ke dunia blogging. Katanya sayang hobinya, sayang bakatnya, sayang efek ngayalnya nggak dibuat tulisan, asemmm 😏😏

Mulai dari sanalah saya kembali lagi menulis. Kadang saya ngobrol sebentar saja sama dia bisa jadi bahan tulisan. Berantem bisa jadi bahan tulisan, tapi bukan curhat soal berantemnya, ya.

Makin aktif ngeblog, akhirnya beberapa kali saya dapat undangan untuk event-event wisata. Seperti kunjungan museum dan semacamnya. Di sini pun suami saya mendukung. Kami bertukar peran. Beliau yang menjaga anak kami di rumah. Sampai di rumah pun ia memberi saya waktu istirahat dan mengingatkan saya jangan lupa membuat review sesuai permintaan klien. Walaupun sebenarnya ada sedihnya, karena saya pengen juga suami kembali menulis seperti dulu awal kami kenal. Tapi kayaknya minatnya sudah beda sekarang. Beberapa kali saya coba ingatkan, masih tetap belum tergerak kayaknya. Ya, cuma bisa berharap suatu saat nanti saya bisa lihat dia nulis lagi.

Rasanya senang sekali punya support system seperti orang tua dan suami seperti mereka. Semua bisa lancar karena dukungan maksimal. Walau diawali dengan “berdarah-darah” pakai adegan sakit dan nangis-nangisan, tapi saya nggak nyesel kalau akhirnya bisa dimudahkan seperti ini.

Harapan saya, dua anak saya ada yang juga punya keinginan jadi blogger. Kelak, saya akan menjadi support system mereka 1000%.

Keberadaan support system itu nyata penting adanya. Siapapun bisa menjadi support system untuk orang lain.

 Salam sayang,
Ajeng Leodita

 


 

 

Sabtu, 21 Oktober 2023

Ke-tomboy-an yang Luruh Gara-Gara AADC


 






Ihiwwww, akhirnya sampai juga di Blog Challenges Day-3 dari KEB. Saatnya membahas film atau drama favorit yang nggak bosan ditonton berkali-kali. Walaupun saya bukan tipikal perempuan yang perempuan banget, tapi film drama ini berhasil memikat hati saya, tsahhhhh.

Rasanya tanpa dituliskan judulnya pun pasti teman-teman udah pada tahu deh kalau clue-nya cuma Dian Sastro dan Nicolas Saputra. Ya, nggak?

Yepppp, Ada Apa Dengan Cinta.







Film drama garapan Rudi Soedjarwo ini benar-benar booming saat itu. Film yang ditayangkan pertama kali pada 8 Februari 2002 lalu mengisahkan tentang jalinan asmara remaja SMA, Cinta dan Rangga. Hubungan keduanya dipenuhi konflik, mulai dari sahabat hingga kisah masa lalu keluarga Rangga. Film ini sukses membuat orang tertawa dan menangis secara bergantian dalam durasi hanya 1 jam 52 menit.

 

AADC membuat saya sangat terkesan mengingat rilisnya pun bertepatan dengan masa-masa SMA saya. Seakan dekat dan mengalami sendiri situasi di dalamnya. Eh, tapi kita seumuran, kan? Kan? Iya, kan? Iya, dong?

Saking cintanya sama film ini, saya sampai 3x nonton di bioskop. Dan belasan kali nonton di DVD bajakan. Ya, mana boleh sih sama ortu berulang kali minta duit buat nonton film yang sama sampai belasan kali?

Buat yang belum tahu filmnya, mungkin ada dedek-dedek gemes yang seangkatan anak saya baca post ini, saya coba ulas tipis-tipis, ya.

Diawali dari sebuah lomba menulis puisi di sebuah sekolah, di mana ketua OSIS bernama Cinta yang tiap tahun biasa menjadi pemenang akhirnya bisa dikalahkan oleh seorang siswa bernama Rangga. Cinta memiliki 4 orang sahabat, mereka kerap menghabiskan waktu bersama. Kelima cewek hits itu tergabung dalam OSIS. Sudah jadi kebiasaan rutin para pengurus Mading OSIS untuk menuliskan profil pemenang lomba. Si Mbak Cinta mewakili teman-temannya, mencoba mengajak Rangga untuk melakukan wawancara. Akan tetapi, Rangga yang introvert kurang suka dengan budaya tersebut, ia malah terkesan mempersulit pengurus mading untuk melakukan wawancara. Sikap rangga yang sok cool membuat Cinta kesal sekaligus penasaran.





Long story short, keduanya pun akhirnya mulai dekat. Hubungan mereka bisa dikatakan tidak berjalan sangat mulus. Sikap Rangga yang aneh kadang membuat cinta terpaksa untuk memahami, termasuk pertemuan dengan gank Cinta yang makin lama makin jarang karena Cinta terlalu sibuk dengan Rangga. Teman-temannya pun complaint dengan perubahan sikap si kapten gank. Saat itu Cinta berada dalam dua pilihan yang sulit, yakni, memilih hubungannya dengan Rangga atau teman-temannya.




Film ini diakhiri dengan keberangkatan Rangga ke Amerika atas perintah ayahnya. Hal itu tak lepas dari masa lalu keluarga Rangga yang tak diceritakan secara gamblang dalam film itu. Namun, Rangga berjanji akan kembali suatu hari nanti. Cinta pun tak bisa berbuat apa-apa selain menerima perpisahan ini. Bukan cuma Cinta yang nangis saat adegan itu, karena saya dan sepertinya semua penonton film itu nangis berjamaah. Benar-benar sad.

 

Efek dari film ini sungguh luar biasa, bahkan hampir semua anak SMA di zaman itu kena sindrom AADC. Bagaimana tidak? Tokoh-tokoh di film itu hampir semuanya memiliki kepribadian menarik. Mulai dari Nicolas Saputra (Rangga) si cowok introvert yang menggilai buku-buku puisi, Dian Sastro (Cinta) yang selalu perfect sebagai si cantik yang juga ketua gank , Ladya Cheryl (Alya) sosok lemah lembut yang ternyata memiliki masalah besar dalam keluarga, Adinia Wirasti (Carmen) si paling gagah yang galak dan selalu menjaga para sahabatnya dari gangguan siapapun, Sissy Priscilia (Milly) yang lucu karena lemot dan Titi Kamal (Maura) yang paling centil karena hobi dandan.

 

Di SMA saya sendiri, tiba-tiba jadi muncul banyak gank cewek yang berlaga seperti para pemain AADC. Saya menyebutnya, totalitas tanpa batas, karena yang diikuti bukan hanya sikap, bahkan sampai penampilan pun diubah sedemikian rupa sehingga plek ketiplek mirip sekali dengan para pemeran film drama romantis itu. Untuk teman-teman yang cowok yang semula extrovert seketika berubah menjadi pendiam. Yang biasanya cengengesan berubah jadi cool. Alih-alih bikin terpukau, saya malah ngakak terus melihat perubahan sikap mereka.

 

Balik lagi ke soal filmnya.

Bukan hanya alurnya yang menarik untuk ditonton berkali-kali, namun juga soundtrack yang diputar sepanjang film benar-benar easy listening, mulai dari opening ost sampai film selesai. Tangan dingin pasangan suami istri musisi, Anto Hoed dan Melly Goeslaw terbilang sangat sukses melahirkan musik-musik yang membuat film ini semakin terasa hidup. Seumur-umur saya nonton film, rasanya baru AADC-lah yang punya soundtrack paling banyak sepanjang durasinya. Ada yang masih ingat lagu-lagunya. Nih, saya ingetin lagi deretan judulnya.

·       Tentang Seseorang

·       Ku Bahagia

·       Suara Hati Seorang Kekasih

·       Hanya

·       Demikian

·       Denting

·       Bimbang

·       Ingin Mencintai dan Dicintai

·       Dll

 

Percaya atau nggak, saya hapal hampir semua lirik dari masing-masing lagunya. Jadi selama SMA, aktivitas saya selain sekolah ya hapalin lagu-lagu ost AADC. 😆😆😆

Namun, ada yang lebih menarik buat saya pribadi. Sebuah pengalaman yang nggak akan saya lupa (mungkin) sampai mati.

Bersamaan dengan booming-nya film AADC, saya kenalan dengan cowok dari sekolah lain. Dikenalkan oleh kakak kelas saya. Namanya Rangga juga. Ciahhh. Mulanya saya kira dia bohong. Tapi ternyata engga. Namanya benar-benar Rangga. Tepatnya Rangga Marwan.

Beda Rangga AADC dengan Rangganya saya adalah, kalau Rangga AADC itu introvert yang suka baca buku, sementara Rangganya saya introvert yang suka tawuran. Dua hal yang berbanding terbalik, ya.

Walau terkesan seperti preman, Rangga ini sangat santun. Ke keluarga besar saya pun dia sangat baik. Saat itu saya sudah dikenalkan sama keluarganya, lho. Kenakalan saya sepanjang pacaran sama dia cuma berani bolos sekolah karena mau nemenin dia kursus sepak bola.

Walau hubungan kami nggak lama, tapi kami tetap berhubungan baik. Rangga masih kerap kasih kado ke saya tiap ulang tahun, masih suka antar oleh-oleh kalau habis kejuaraan di luar kota. Saya punya pacar, dia tahu, pun sebaliknya. Kami sama-samamenghargai.

Dia pernah bilang sama saya, “kalau nanti Rangga sudah punya uang banyak, Rangga datang ke rumah Ajeng, ya. Rangga lamar Ajeng.” So sweet, kan?

Tapi semua itu nggak pernah jadi kenyataan. Karena 14 September 2006, Rangga berpulang. Pulang yang tanpa berpamitan. Sebuah insiden tawuran membuat Rangga harus berpulang untuk selamanya. Saya datang saat pemakaman. Suasananya rame banget waktu itu, karena selain saya, ada juga wartawan yang meliput. Ya, Namanya juga salah satu korban jiwa. Pasti wartawan nggak akan menyianyiakan momen ini, dong.




Kenapa saya bahas mantan di blog yang memungkinkan suami saya baca?

Ya, nggak apa-apa. Rangga itu kisah manis saya jaman muda. Suami saya pun tahu ceritanya. Tidak ada rahasia di antara kami. Saya masih berhubungan baik dengan adik-adiknya Rangga pun suami saya tahu. Bahkan kami pernah makan bersama di salah satu mall.

Mengakhiri kisah ini, saya minta dibantu, ya, untuk kirimkan Al Fatihah buat Almarhum Rangga Marwan bin Iwan Suandi. Semoga Rangga sudah bahagia di Surga. Jadi, kalau saya ingat film AADC, jadi kepikiran Rangga. Pas lagi ingat Rangga jadi kepikiran AADC. Begitu aja terus sampai tulisan ini selesai, hehehe.

 

Salam sayang,

Ajeng Leodita

 


 


Jumat, 20 Oktober 2023

Dapat Teman Sekaligus Keluarga Baru dari Komunitas Menulis, Why Not?


 


sumber : https://stpeters.es/



Setelah kemarin ditantang dengan pertanyaan, “Kenapa lama nggak update blog?”

Hari ini kami diberi pertanyaan baru oleh segenap pengurus KEB.

Punya banyak teman di komunitas blog? Mengapa akrab dengan teman tersebut?

Pertanyaan tersebut juga sebagai tema di Day-2 Blog Challenges KEB jelang perayaan Hari Blogger di 27 Oktober 2023 besok.

Membahas tentang pertemanan, sebenarnya saya adalah tipe orang yang suka sekali memiliki banyak teman. Banyak teman banyak rejeki, pepatah lama berbunyi demikian. Namun, terkadang saya memiliki hambatan untuk memulai sebuah hubungan pertemanan itu sendiri. Dan itu terjadi di kehidupan nyata saya. Sampai sekarang pun saya masih suka bingung bagaimana cara berbasa basi dengan orang baru, bagaimana mencari tema yang pas untuk membuka sebuah obrolan, dan bagaimana nanti saya menanggapi orang tersebut jika kemudian kami terlibat dalam sebuah pembahasan. Apakah saya cukup menyenangkan untuk dijadikan teman ngobrol? Atau malah sebaliknya. Rasa insecure itu seketika muncul sendiri. Terus terang saya tidak nyaman jika sudah begitu. Akhirnya memilih diam dari pada nanti malah muncul kejadian-kejadian di luar ekspektasi saya.

 

Sampai akhirnya saya mulai aktivitas blogging pada 2011 lalu. Sebenarnya, memutuskan untuk menjadi seorang blogger itu bukan hal yang disengaja. Bahkan sebutan blogging saja saya baru tahu setelah salah seorang teman saya di Facebook mengarahkan saya untuk coba menulis di salah satu platform menulis online, Kompasiana. Mungkin teman saya itu sudah mulai pusing dengan kebiasaan saya yang hobi menulis fiksi di status-status medsos. Memang, dulu saya mulai aktivitas menulis dengan membuat cerpen ataupun cerbung. Saya paling suka ngarang soalnya, hahaha.

Akhirnya saya pun registrasi di Kompasiana. Kali pertama bergabung, saya membuka tulisan-tulisan para member senior di kanal fiksi. Waktu itu pun masih belum berani meninggalkan komentar. Takut salah omong.

 

Beberapa hari kemudian saya mulai memberanikan diri membuat konten, yakni menulis puisi. Padahal puisi bukan minat saya, sekaligus puisi adalah salah satu bentuk sastra yang menurut saya terlalu sulit untuk otak saya yang kapasitasnya hanya setengah sedok teh ini. Tapi saat itu saya berpikir instan saja, satu-satunya alasan karena puisi itu bisa ditulis lebih sedikit jumlah katanya daripada cerpen. Saya cari mana yang lebih cepat tayang dulu, deh. Sesuai dugaan, belum ada yang mampir untuk meninggalkan komentar. Sedih? Tidak! Hahaha, karena saat itu saya memang belum punya mimpi ada yang mau mengomentari tulisan saya. Intinya saya kan baru test drive, jadi kalaupun tidak ada yang mengomentari ya bukan masalah besar. Lagi pula puisi saya pun kelas ecek-ecek. Nggak layak untuk diapresiasi.

 


Saya pun mulai menulis yang rada panjang tapi pendek. Eh, apaan, tuh? 😅😅😅

Cerpen. Saya mulai menulis beberapa judul. beberapa komentar mulai singgah. Senang sekali rasanya. Untuk membalasnya saya pun singgah di tulisan-tulisan para pemberi komentar. Saya dan mereka saling mengikuti akun. Jika masing-masing dari kami membuat konten baru, akan langsung muncul di fitur linimasa. Tanpa saya sadari, itulah upaya pertama saya untuk memiliki teman di sana. Tidak butuh effort yang berlebihan ternyata. 😁

 

Di Kompasiana tulisan yang dipilih menjadi Headline (HL) sangat diharapkan oleh banyak member yang dikenal dengan sebutan Kompasianer. HL bisa dianggap sebagai kasta tertinggi sebuah tulisan di sana. And, I got it! Beberapa tulisan saya yang masuk kategori HL dan dari sana akhirnya makin banyak yang masuk ke tulisan saya, dan mengikuti akun saya. Saya pun langsung follow back, dong.

 

Tulisan pertama saya yang menjadi Headline justru bukan fiksi, melainkan sebuah reportase tentang profil penari kolong jembatan Jatinegara. Dalam tulisan itu saya mengangkat kisah para gadis muda belia dari salah satu daerah di Jawa Barat yang alih-alih punya cita-cita besar malah justru ingin memiliki profesi yang sama dengan para pendahulunya. Mereka enggan menamatkan pendidikan, karena ingin segera berangkat ke ibukota untuk bekerja menjadi penari kolong jembatan. Menjadi penari memang bukanlah profesi yang memalukan. Namun terkhusus penari kolong ini, memang sudah menciptakan konotasi buruk di masyarakat, karena selain menjajakan kemampuan menari, mereka juga kadang bisa diajak melakukan hubungan seksual. 😖😭

Laman itu sukses mendapat views sebanyak 2.223. Sebuah pencapaian luar biasa untuk saya pribadi sebagai Kompasianer baru.

Sejak itu makin banyak yang mampir di tulisan saya dan kami menjadi teman. Saya pun akhirnya berpikir, ternyata menulis adalah salah satu cara mendapatkan teman tanpa perlu pusing memikirkan bagaimana memulainya. Bagaimana chit chat-nya. Tulisan itu sendiri adalah jembatan pertemanan yang cukup ampuh.

 

https://stock.adobe.com/

Tak hanya itu benefit yang saya dapatkan, di Kompasiana muncul banyak komunitas-komunitas yang dibuat oleh kompasianer untuk kompasianer. Para pengurus komunitas tak sungkan menawarkan ajakan bergabung pada kompasianer lain untuk memperbesar komunitasnya. Saya pun mengalaminya. Saya diajak bergabung oleh sebuah komunitas yang bernama Cengengesan Family (CF). Sebuah komunitas yang di dalamnya terdiri dari puluhan kompasianer dari latar belakang yang berbeda, juga tersebar di seluruh Indonesia, bahkan ada pula yang tinggal di LN. Ada yang berprofesi sebagai dosen, guru, konsultan IT, insinyur, dokter, sampai IRT.

Komunitas ini “agak lain” dari pada yang lain. Di sini dibangun struktur seperti sebuah keluarga, di mana masing-masing memiliki perannya sendiri. Ada yang berperan sebagai kakek dan nenek, sampai cucu.

Posisi saya saat itu adalah anak bungsu dari founder komunitas yang berperan sebagai ayah. Perbedaan CF dengan komunitas lain yakni cara nge-treat member. Walaupun kami kerap kali bercanda dan saling ledek, di CF ini saya pun merasakan digembleng habis-habisan. Saya dituntut untuk mengikuti jejak para senior yang harus menayangkan sekurang-kurangnya sebuah tulisan setiap hari. Dan dalam 1 minggu harus mendapatkan Headline minimal 3 kali. Sudah tak terhitung berapa kali saya menangis saat awal pertama gabung dengan komunitas itu. Namun, saya dikuatkan oleh anggota lain yang mengatakan bahwa ini adalah cara “papa online” saya itu untuk menjadikan saya blogger yang bisa menulis apa saja, bahkan dalam waktu yang singkat.

Kendatipun harus dengan berdarah-darah, tapi sejujurnya saya sangat senang didapuk menjadi bagian dari mereka. Karena kami dipersatukan dalam satu minat yang sama. Yakni, sama-sama suka menulis. Saya bisa dengan mudah konsultasi tanpa rasa sungkan. Mereka pun tak pelit ilmu. Kami biasa mengadakan conference call sekali dalam sepekan untuk sekadar ngobrol atau mungkin membahas sesuatu yang berhubungan dengan dunia kepenulisan.

 


Selain menulis bisa membuat saya punya banyak teman, juga jadi punya keluarga baru. Walaupun tak semuanya aktif menulis lagi, pertemanan kami bertahan sampai saat ini.

Apa ada teman-teman pembaca yang mendapatkan keuntungan ganda karena menulis seperti saya? Sharing, yuk.

 

Salam Sayang,

Ajeng Leodita

 

 

 


 

 

 

 

 


Kamis, 19 Oktober 2023

Dua Alasan Saya Lama Tak Update Blog Pribadi


 

https://indiacsr.in/


Apa yang membuat Emak lama tidak update blog?

Sebuah pertanyaan yang menjadi tema hari pertama event KEB jelang Hari Blogger pada 27 Oktober besok. Tema ini cukup menggelitik, karena pasti banyak sekali para blogger yang akhirnya punya alasan masing-masing kenapa mulai jarang mengisi blog pribadinya.

Anyways, karena saya ingin tiap tulisan dalam blog ini dibaca oleh semua kalangan, mungkin saya awali dulu dengan definisi dari Blog, Blogging dan Blogger, ya?

Blog adalah sebuah laman daring yang dibuat untuk mewadahi kumpulan konten daring yang dapat diakses oleh orang lain. Meskipun beragam, pada umumnya, konten yang termuat dalam blog berupa tulisan. Tulisan tersebut dapat berupa cerita, opini, informasi, dan juga karya karya lainnya. (sumber : mediaindonesia.com)

Blogging adalah aktivitas mengelola blog, seperti menulis, memperbarui, atau menambahkan elemen lainnya (misalnya video) pada konten blog yang dilakukan oleh seorang blogger. (sumber : hostinger.co.id)

Blogger adalah individu yang suka berbagi bagian dari kehidupannya dengan menulis sebuah tulisan yang kemudian diposting dalam blog mereka.(sumber : https://www.merdeka.com/)

Masing-masing orang punya alasan tersendiri mengapa suka dengan kegiatan blogging, termasuk saya. Bagi saya, menulis itu :

·       Memberi informasi,

·       Membuka ruang diskusi

·       Wadah promosi

·       Wadah curhat

·       Meninggalkan jejak literasi untuk orang-orang terkasih saat nanti saya sudah tiada

Siapa pun bisa menjadi seorang blogger. Tanpa ijazah atau banyak pengalaman lebih dulu, yang terpenting dari semuanya adalah kita suka menulis. Titik. Kekuatan dari seorang blogger adalah tulisan itu sendiri. Sehingga yang diharapkan adalah bagaimana kita bisa meramu tulisan agar sedap dibaca, bukan begitu ibu-ibu?

Ada 2 karakter penulis yang menulis di laman daring, ini versi saya, loh, yakni:

1.       Penulis yang tidak butuh pembaca

2.       Penulis yang butuh pembaca

 

Jika kembali pada poin-poin yang menjadi alasan saya menulis, saya masuk dalam penulis kategori ke dua, yakni, seorang blogger yang membutuhkan hadirnya pembaca. Terlebih jika pembaca tersebut sampai meninggalkan feed back berupa komentar. Sekalipun komentarnya sekadar, “Mbak Ajeng, sehat?” itu saja saya sudah girang bukan main. Kenapa? Ya, karena mereka punya keinginan untuk membuka laman tulisan saya. Banyak kok yang sangat malas membuka link tulisan, mungkin karena judulnya tidak menarik, mungkin juga karena memang tidak suka baca, dan alasan terakhir ya mungkin karena sentimen sama penulisnya,😆

Munculnya kehadiran pembaca dalam tiap tulisan saya seperti memberikan semangat tambahan agar saya tetap konsisten menulis, membahas hal-hal baru, memberikan opini pada isu yang sedang bergulir di masyarakat, dan lain sebagainya. Saya merasa tulisan-tulisan saya itu ditunggu. Saya merasa dibutuhkan, walaupun mungkin itu hanya perasaan saya sendiri. Komentar yang ditinggalkan pun isinya beragam. Ada yang mendukung, pun ada yang berseberangan.

Sejak 2011 saya mulai aktif menulis. Namun, saat itu saya belum punya blog pribadi. Saya masih menggilai menulis di sebuah platform menulis online. Tapi justru dari sana akhirnya saya mulai kenal dengan teman-teman blogger yang ternyata punya blog pribadi. Saya mulai menjejaki tulisan-tulisan mereka di blog-nya. Saya akhirnya tertarik untuk membuat blog pribadi juga. Awalnya belum punya ide mau menulis apa, saya malah lebih sibuk gonta-ganti template kayak anak SD dapat mainan baru. Bolak balik ganti nama blog, sampai dulu blog saya pakai backsound, biar apa? Biar norak, dong. 😏😅

Namun, sayangnya, saya masih belum tertarik untuk mengisi blog pribadi. Saya masih belum bisa move on dari blog keroyokan yang lama. Saya justru makin semangat menulis di sana, terhitung sudah 337 tulisan yang saya buat, itu pun sempat terjeda kurang lebih 4  tahun karena saya sibuk bekerja dan mengurus anak.

Apa sebab?

Ya, karena saya sudah punya pembaca yang rutin berkunjung ke tulisan saya. Walaupun mereka tidak meninggalkan komentar, tapi ada fitur yang disediakan untuk memberikan label reaksi pada tulisan tiap blogger di sana. Semacam absensilah, yang menandakan mereka sudah hadir walaupun nggak baca sampai habis. Hal itu cukup membuat mood saya tetap stabil dalam menulis dan memikirkan ide-ide selanjutnya. Bahkan ide itu bisa muncul dari isi komentar mereka.

Sedemikian pentingnya sosok pembaca buat saya, seakan hidup matinya blog saya ada di tangan pembaca, hehhee.

Jadi, alasan pertama kenapa saya lama tidak update blog karena minimnya jumlah pembaca yang masuk di blog saya.

Alasan kedua adalah munculnya writer’s block. Yakni, suatu kondisi ketika penulis tidak dapat menuliskan apa pun. Ini bukan isapan jempol semata. Saya benar-benar pernah mengalami ini, saat sedang sibuk-sibuknya mengawali hidup sebagai istri dan ibu dari 1 orang anak. Saya tidak punya banyak waktu untuk membaca, buka medsos, sampai jalan-jalan. Padahal ketiga hal tersebut cukup berpengaruh pada ide-ide menulis saya selama ini.

Jangan dikira, belasan tahun menulis kemudian hiatus hanya 1-2 bulan tidak berpengaruh pada kemampuan menulis, lho. Salah besar! Masih ingat, kan, bunyi salah satu pepatah, “kemarau setahun dihapus hujan sehari”? Ingat pepatahnya tapi lupa artinya, ya? Eh, gimana? Hahaha.

Itulah yang terjadi. Bahkan untuk menulis 1 paragraf saja harus bolak balik ketik-hapus-ketik-hapus. Rasanya kurang di sini, kurang di sana. Sampai salah penempatan tanda baca saja bisa bikin mood menulis saya hilang. Ditambah lagi, melihat blog teman-teman yang sudah pakai domain TLD sementara saya masih menggunakan embel-embel blog gratisan.

Bukan hanya rasa malas yang muncul jika dalam kondisi writer’s block,kondisi diperparah dengan sibuk menyalahkan diri sendiri. Seakan ada suara dalam hati “Kenapa sih nggak tetap nulis aja? Kan bisa disambi ini-itu.” Oh, tidak semudah itu, Marisol. Saat itu saya memang benar-benar tidak punya waktu dan mood untuk menulis. Saya lagi senang-senangnya memperhatikan anak pertama saya, lagi senang belajar masak, dan semua yang berbau rutinitas ibu rumah tangga.

Akhirnya, bukan malah mengejar ketinggalan itu, saya justru makin masuk ke dalam lingkaran writer’s blog lebih dalam lagi.

Padahal, jika saya mau berdamai dengan itu semua, bisa saja saya berpikir, itu kan blog pribadi saya, suka-suka saya mau menulis apa, kalau ada yang mau baca ya sukur, kalau enggak ya udah. Toh, saya nggak memaksa. Tapi rasanya, saya nggak bisa menerapkan itu dalam pola pikir saya. Saya nggak bisa asal-asalan menulis, karena kembali lagi, saya ini punya alasan kenapa saya mau menulis dan saya harus menulis.

Dan, akhirnya, setelah sekian lama, saya pun kembali mengisi blog pribadi saya, di tahun 2019. Walaupun masih belum rutin, tapi tahun ini saya sedang belajar untuk lebih konsisten dan sedang menabung untuk naik level agar bisa menggunakan domain TLD. Doain saya ya, Maks.

 

 Salam sayang,
Ajeng Leodita