Hujan masih belum berhenti sejak semalam. Gerobak angkringan yang terparkir
di beranda rumah jadi ikut-ikutan basah. Romili, pria muda yang baru saja menikah
itu adalah pemiliknya. Walaupun hujan berkepanjangan diprediksi akan terus
berlanjut hingga awal tahun, Romili tak khawatir. Angkringannya selalu ramai
pembeli. Olahan wedang jahe merahnya sudah dikenal di mana-mana. Bahan bakunya dikirim
langsung oleh keluarga besarnya di desa.
Pukul 3 sore Romili dan wanita yang baru 3 bulan dinikahinya itu sudah
siap mendorong gerobak ke ruko yang mereka sewa di pinggiran jalan utama.
Lokasi strategis juga salah satu alasan angkringannya mudah dijangkau. Tarif
sewa satu setengah juta per bulan tidak terlalu memberatkan jika dibandingkan
dengan omzet angkringan tiap malam.
Tepat di seberang ruko, ada lampu merah yang menjadi sumber kemacetan sehari-hari.
Namun, hal itu justru menjadi ladang rejeki bagi beberapa pedagang asongan.
Salah satunya, Taji. Dua tahun belakangan, anak 8 tahun itu membantu ibunya
berjualan. Ia menjajakan tissue yang diambil dari agen besar bersama beberapa
anak seusianya yang juga sama-sama menjadi tulang punggung keluarga.
Taji kerap mampir ke warung angkringan milik Romili, membeli nasi untuk
dia dan ibunya. Anak laki-laki itu tak pernah mengharapkan nasi gratis, ia
selalu membayar dengan harga sama seperti pembeli yang lainnya.
“Om Romi, nasi 2, ya.” Ucap Taji seraya menyerahkan dua lembar uang pecahan
dua ribu dan 2 keping pecahan seribu rupiah.
Romi memperhatikan Raji dari ujung kepala hingga ujung kaki. Raji
mengikuti arah pandangan Romili.
“Jaman sudah modern begini, masih aja kamu jualan kalender, Ji. Bilang
sama ibumu, kreatif sedikit.”
Ucap Romi setelah melihat beberapa gulung kalender yang diselipkan di
ketiak kanan Taji.
Tiap awal Desember, selain menjual tissue, anak itu juga selalu menjual
kalender tahun baru. Benar apa yang Romili bilang, kalender dalam bentuk fisik
tak terlalu diperlukan lagi, orang-orang lebih senang melihat tanggal di jam
tangan atau ponsel mereka. Namun, Taji tidak berpikir sejauh itu, yang ada di
kepalanya hanya bagaimana ia dan Ibunya tetap makan tiap hari untuk melanjutkan
hidup.
Taji buru-buru pamit dari hadapan Romili, jika ia tak segera pergi,
laki-laki itu akan semakin sinis padanya. Lagi pula, ibunya pasti juga sudah
lapar, sejak pagi belum ada yang mereka konsumsi selain air putih yang dibawa
dari rumah.
Pukul 7 malam, angkringan mulai ramai pembeli. Stok nasi kucing bahkan
sampai dibuat lebih banyak dari biasanya. Walau sering terlihat kewalahan,
namun, Romili dan istri masih belum berpikir akan mencari orang untuk
bantu-bantu. Watak Romili ini yang kerap dianggap pelit oleh para tetangga yang
awalnya berharap akan diajak bekerja olehnya.
Saat angkringan sedang padat-padatnya, istri Romi melihat kedatangan Taji
yang tiba-tiba. Jarang sekali anak itu mampir ke sini malam hari. Rumahnya pun
jauh dari lokasi angkringan ini. Taji terlihat memang tak seperti ingin membeli
nasi seperti biasanya. Wajahnya kuyu, bibirnya membiru, pakaian yang ia kenakan
pun masih sama seperti sore tadi dan sudah basah kuyup.
Istri Romi memberi kode pada suaminya, agar cepat-cepat menghampiri Taji.
“Ngapain ke sini lagi? Mau beli nasi lagi? Kalender sama tissuemu laku
banyak?”
“Nggak, Om. Saya mau bantu cuci piring atau bersih-bersih di sini, boleh?
Saya butuh uang, ibu sakit,”
“Yang butuh uang bukan cuma kamu, saya juga.” Balas Romili sinis.
Taji membeku di tempatnya berdiri. Dinginnya malam ini tak lebih dingin
dari uacapan Romili barusan. Ada sesak yang memenuhi dada pria kecil itu.
Memang seharusnya ia tak datang ke sini. Mengharapkan bantuan datang dari sosok
Romili seperti mengharap kalender laku 100 gulungan dalam sehari. Nihil.
“Baik, Om. Saya pamit.” Taji membalikkan tubuhnya, berjalan pelan dan
hampir putus asa.
“Sebentar,” panggil Romi tiba-tiba, kemudian mengeluarkan dua lembar uang
lima puluh ribu dari saku celananya.
“Ambil ini, bawa Ibumu besok ke puskesmas. Jangan lama-lama di sini,
nggak enak kalo pembeli di sini lihat. Pengamen saja saya larang masuk, apalagi
…,” Romili tak melanjutkan kalimatnya, ia melihat ada beberapa motor baru
datang. Itu jauh lebih penting ketimbang menghardik anak kecil ini terus-terusan.
Taji menggenggam uang dari Romili, air matanya benar-benar tumpah kali
ini. Perasaannya tak karuan. Antara malu, sedih karena merasa dikucilkan, namun
tetap ingin berterimakasih atas bantuan yang diberikan.
*
Seminggu berlalu, Romili baru melihat lagi Taji di lampu merah. Tangan
kanannya menjinjing kalender yang terbuka, mendekati mobil-mobil yang terpaksa
berhenti karena macet luar biasa, sementara tangan kirinya menggenggam kalender
yang tergulung. Anak laki-laki itu terlihat sesekali ngobrol dan bercanda dengan
teman-temannya yang juga berjualan di sana. Mereka berusaha menikmati kesulitan
yang tengah mereka jalani, membawanya ke situasi yang lebih menyenangkan.
Pukul lima sore, Taji mendatangi angkringan Romili, memesan sebungkus
nasi dan mengeluarkan uang recehan dari dalam kantong plastik hitam. Ia
menghitung uang itu pelan-pelan di hadapan Romili.
“Om, 103 ribu, ya.”
“Apa itu? Oh, mau bayar hutang ceritanya? Udah kaya, ya, sekarang?” Romili
kembali menyindir lagi.
Taji menggeleng lemah.
“Sini, deh. Alhamdulillah kalau bisa kembalikan uang dari saya kemarin,”
Romili mengambil uang dari tangan Taji.
“Iya, Om. Terima kasih bantuannya. Kemarin setelah dapat uang dari Om
Romi, saya langsung bawa ibu ke rumah sakit,”
“Oh, terus kok beli nasinya cuma 1? Ibumu sudah sehat?”
“Ibu sudah nggak ada, Om. Untung ada uang dari Om Romi, jadi Ibu meninggalnya
di rumah sakit, jenazahnya diurus pihak sana, kalau Ibu masih di rumah, saya
pasti bingung gimana pemakamannya. Ini uang dari para pelayat saya sisihkan
untuk membayar hutang ke om Romi, sisanya untuk membuat nisan Ibu.”
Seketika lidah Romi kelu, ia tak tahu harus berkata-kata seperti apa
menanggapi kabar duka yang baru diceritakan anak kecil di hadapannya saat ini.
Bergegas Romi meninggalkan Taji sendiri, masuk ke kamar mandi ruko dan menangis
sejadi-jadinya, bahkan ia tak peduli dengan pembeli yang mungkin mendengar
suara tangisannya. Istrinya bingung melihat sikap Romi hari ini. Ia menunggu
suaminya menyelesaikan luapan emosinya.
“Ada apa?” tanya istrinya lembut.
“Ibunya Taji meninggal,”
“Innalillahi wa innailaihi rojiun, sakit?”
Romi mengangguk pelan.
“Bukannya Mas nggak suka sama anak itu?” selidik Sang Istri.
Romili menarik napas panjang, bersiap untuk mulai menceritakan sebuah
kisah kelam yang pernah terjadi padanya belasan tahun silam.
Romili lahir dari keluarga yang tak utuh, sejak kecil, ia tak pernah
mengenal ayahnya. Ia dan ibunya menumpang hidup pada sang nenek. Saat Romili usia
9 tahun, ia sudah mulai berjualan di pasar. Neneknya membuat cucur dan Romi
yang menjajakannya. Sementara Ibunya justru berkelana dengan banyak laki-laki.
Dan sampai detik ini, Romili tak pernah lagi bertemu dengan ibunya. Masih hidup
atau sudah meninggal dunia, Romi tak tahu lagi keadaannya. Sikap keras Romi
bukan karena ia benci pada Taji. Namun, ia ingin Taji tumbuh menjadi pria kuat
dan berani. Malam itu Romi memberikan uang pada Taji dan meminta anak laki-laki
itu cepat pergi dari angkringannya karena ia tak mau Taji lama-lama di jalan
dengan posisi baju basah dan kedinginan. Bukan karena Taji nampak seperti
gelandangan.
Istri Romi mengelus punggung suaminya perlahan. Sesak itu sampai pula di
hatinya. Ia seperti tengah berhadapan dengan pria yang berbeda dari sebelumnya.
Tiba-tiba Romili membisikkan sesuatu di telinganya, wanita itu mengangguk
seraya melepaskan senyum setuju.
*
Tepat di malam tahun baru angkringan Romi lebih ramai dari malam-malam
biasanya. Kebetulan ada promo seru yang sedang berlangsung di sana. Bayar makan
minimal 50ribu akan mendapatkan kalender gratis dari si pemiliknya. Romi
memborong kalender 2023 yang dijual Taji.
Hampir 100 bundel kalender sudah dibawa pulang oleh para pembeli yang
mendapatkan promonya. Romi berniat ingin memberi promo lain untuk para
pelanggannnya di tahun depan dan tetap melibatkan Taji. Namun malam itu, saat
Romili dan istrinya sedang membereskan peralatan jualannya, Taji muncul di depan
rukonya.
“Om Romi, Taji mau pamit,”
“Loh, mau ke mana?” Romi bangkit dari posisi jongkoknya dan membasuh
tangannya yang penuh sabun.
“Besok Taji mau pulang ke kampung ibu, Taji punya adik perempuan di sana,
selama ini dijaga sama bulik. Taji juga diminta melanjutkan sekolah di kampung
saja. Ini Taji punya 1 kalender lagi buat Om Romi.”
Tangan kecil Taji menyerahkan 1 bundel kalender, Romili menerimanya
dengan mata berkaca-kaca. Kemudian membiarkan anak laki-laki tangguh itu hilang
dari pandangannya
Sampai di rumah, Romi membuka kalender yang diberikan Taji. Berbeda dengan
kalender yang diberikan pada para pelanggannya. Kalender ini ada karikatur Romi
dan istrinya disertai ucapan terima kasih. Bersama suara petasan di malam tahun
baru ini, tangis Romi kembali jatuh lagi.