Merangkul UMKM Konvensional dengan Literasi Finansial
Di era ini, Interconnected
Network atau internet sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok masyarakat
dunia. Tak pandang usia, internet seakan memiliki kandungan zat adiktif karena
mampu memberi efek ketergantungan yang luar biasa. Sejak bangun tidur hingga
menjelang tidur lagi, internet selalu setia menemani. Hal itu dianggap sangat
layak mengingat banyak hal yang dijajakan pada para penggunanya. Netizen bisa
dengan mudah bersosialisasi, mendapatkan informasi, hiburan, sampai dengan
belanja. Cukup bermodalkan gawai dan kuota kita bisa berjelajah keliling dunia
melalui dunia maya.
Kesempatan emas ini diambil oleh para pemilik marketplace untuk menciptakan sebuah
wadah bagi para UMKM yang ingin memperluas jangkauan pendistribusian
produk-produk yang mereka jual. Cakupan area pengiriman barang bisa dikatakan
tidak terbatas setelah kemunculan marketplace
ini. Selain itu penerapan sistem gratis ongkos kirim juga membuat marketplace memiliki value dari pada berbelanja seacara
offline. Kelebihan paling menonjol adalah tersedianya layanan live streaming sehingga memungkinkan
pihak penjual bisa all out dalam
memasarkan produknya.
Munculnya kebiasaan baru dalam aktivitas jual beli
ini pun menimbulkan pro dan kontra khususnya di kalangan UMKM itu sendiri. Tidak
semua pengusaha UMKM mau beradaptasi dengan fenomena ini, terutama penganut
gaya berjualan konvensional yang sudah terbiasa melakukan aktivitas jual beli
secara tatap muka.
Padahal, pasca pandemi hampir di seluruh dunia terjadi
disrupsi pada pola belanja masyarakat dari belanja offline ke online. Hal itu
juga dipengaruhi oleh lebih banyaknya peminat quick commerce yakni lebih senang berbelanja segala kebutuhan tanpa
harus keluar rumah.
Latar belakang orang memilih belanja online melalui marketplace, yaitu :
1. Efisiensi
waktu
Pembeli bisa
tetap di rumah, memanfaatkan ponsel pintar untuk mendapatkan barang yang mereka
inginkan. Apalagi dalam kondisi cuaca tak menentu seperti sekarang ini, semua
bisa lebih aman dan nyaman dengan pola belanja online.
2. Banyak
promo
Banyaknya seller yang memilih pola jualan online membuat masing-masing berusaha
menawarkan promo menggiurkan agar toko mereka dilirik pembeli. Mulai dari
pemberian diskon hingga gratis ongkos kirim.
3. Memanfaatkan
fasilitas paylater
Tak hanya penjual,
beberapa penyedia marketplace memberikan
penawaran paylater untuk para
penggunanya. Paylater adalah system pembayaran di lain hari. Marketplace bekerjasama dengan bank atau penyedia modal
lainnya. Walaupun tidak semua pengguna bisa menikmati fasilitas ini karena
tergantung pada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pengguna lebih
dulu.
Salah satu issue
yang tengah ramai menjadi perbicangan saat ini adalah pro dan kontra tentang
keberadaan platform belanja online
Tiktok Shop dan berakir pada sebuah keputusan dari pemerintah bahwa per 4 Oktober
2023 aplikasi jejaring sosial dan platform
video music itu tidak boleh lagi menyediakan fitur berjualan. Memang di awal
kemunculannya, Tiktok hanya sebuah media sosial yang memungkinkan penggunanya
untuk mengunggah video bukan untuk kebutuhan berjualan. Namun dengan
sendirianya fungsinya bergeser menjadi platform
jualan online tanpa lebih dulu mengurus
ijin pada pihak Indonesia.
Mulanya, hal ini dipicu karena banyaknya complaint dari para pedagang konvensional.
Mereka merasa pola pemasaran berbasis live
streaming dari TT Shop tidak memberikan hasil maksimal untuk mereka. Apalagi mereka harus bersaing dengan sejumlah
pedagang produk impor dengan menawarkan harga jauh lebih murah dari produk lokal
Indonesia.
Keputusan penutupan Tiktok Shop ini pun akhirnya memunculkan
kubu lain, yakni para pedagang yang justru merasa terbantu dengan keberadaan
Tiktok Shop. Walaupun pada akhirnya setelah masalah ini merebak, ternyata muncul
banyak alasan lain sebagai latarbelakang penutupan Tiktok Shop dari hanya sekadar
merugikan UMKM Konvensional. Hal ini tentunya menjadi dilema di ranah sistem jual
beli Indonesia.
Sebenarnya, masalahnya ada di mana?
Jika diamati lebih dalam, sumber masalah bukan dari
Tiktok Shop-nya. Karena jika platform
tersebut ditutup, masih ada beberapa marketplace lain masih exist di Indonesia dengan
konsep sama.
Permasalahan utama adalah tentang kebiasaan lama yang
tak mau diubah. Pedagang konvensional terbiasa dengan aktivitas jual beli
secara tatap muka, memiliki toko fisik,
dan produk yang bisa secara langsung dilihat oleh si pembeli. Transaksi
pembayaran pun dilakukan secara tunai sehingga mereka tidak perlu lagi repot
antre di mesin ATM untuk menarik uang. Hal-hal sederhana dianggap sebagai zona
nyaman mereka sehingga tak mau menerima kebiasaan baru karena membutuhkan waktu
lagi untuk mempelajarinya.
Saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk
berandai-andai jika kita adalah pedagang konvensional tiba-tiba dengan waktu super
singkat harus ikut jualan di marketplace.
1. Peraturan
di marketplace
Setiap marketplace memberlakukan aturan
masing-masing. Misal, larangan untuk berkomunikasi dengan pembeli di luar
marketplace. Semua bentuk tanya jawab hanya boleh dilakukan di marketplace itu
sendiri. Penjual dilarang membagikan nomor kontak pribadi pada customer.
2. Kompetitor
lebih banyak
Jika biasanya
kita berjualan di pasar dan hanya memiliki 20 kompetitor dengan barang dengan
harga jual dan kualitas sama, di marketplace kita akan bersanding dengan
ratusan kompetitor dari berbagai wilayah.
3. Metode
pembayaran terbatas
Masih banyak
pedagang enggan menggunakan pola pembayaran online
dengan alasan tidak mau ribet. Walaupun di marketplace
pun sudah ada sistem pembayaran Cash on
Delivery (COD), tapi masih dianggap tidak cukup efektif bagi penjual
konvensional
4. Pencairan
dana memakan waktu
Jika pedagang
konvensional bisa langsung menerima dana setelah barang dibeli, tidak demikian
dengan marketplace. Banyak
tahap-tahap yang harus dilewati. Penjual harus menunggu sampai si pembeli memberikan
konfirmasi bahwa barang sudah diterima dalam kondisi baik. Ini belum termasuk
jika ada complaint, ya.
Itu hanya beberapa dari keseluruhan poin yang harus diadaptasi
oleh para pedagang konvensional untuk bisa mengikuti perubahan pola belanja
dalam masyarakat saat ini. Walaupun terkesan mudah pada teori, tapi belum tentu
saat melakukan praktiknya.
Banyak pihak menganggap langkah penutupan Tiktok Shop ini bukan sebuah
jalan ninja untuk
menyelesaikan masalah meruginya para UMKM
konvensional, karena ternyata banyak aspek lain yang melatarbelakangi kondisi
ini, hanya saja tidak terdeteksi atau memang diabaikan.
Pola berdagang banyak dipengaruhi dari pola pikir dan
pola pikir dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah informasi. Tidak
menutup kemungkinan penolakan terjadi karena kurangnya informasi berkenaan
dengan manfaat penggunaan marketplace
itu sendiri.
Lantas, apa langkah selanjutnya?
Pada prinsipnya, masalah ini melibatkan dua pihak
yang berseteru, yakni pedagang modern dan pedagang konvensional. Oleh karena
itu, pemerintah sebagai pihak netral seharusnya memberikan jalan tengah dengan
harapan akan menghadirkan win-win
solution bagi keduanya.
Kurang optimalnya pengenalan tentang literasi finansial
adalah salah satu penyebabnya. Literasi finansial itu sendiri adalah
pengetahuan dan kemampuan juga kemakhiran dalam mengaplikasikan pemahaman
tentang konsep, risiko, dan keterampilan konteks finansial. Literasi finansial
memiliki banyak sekali manfaat terutama dalam menghadapi perubahan budaya ekonomi
saat ini. Hal ini tentunya dibutuhkan untuk mengubah dan membentuk mindset baru
bagi para pelaku ekonomi terutama pedagang konvensional.
Langkah-langkah dalam pengenalan literasi finansial :
·
Mengenalkan literasi keuangan digital
Pengetahuan
secara langsung terkait pembelian online, pembayaran online melalui berbagai
sarana, dan sistem perbankan online. Mengajarkan mereka mulai dari proses
registrasi akun, hingga cara penggunaannya.
·
Mengenalkan tentang kemampuan aksesibilitas lebih
luas
Menyampaikan
informasi tentang bagaimana cara mencapai daya jangkau penjualan lebih luas,
cara memilih pangsa pasar yang tepat, cara memberikan promo tanpa rugi, dsb.
·
Bidik agen literasi
Perangkat
daerah dan kaum milenial adalah sosok tepat untuk memberikan penyuluhan ini
sebagai agen literasi. Caranya, beri pelatihan dulu bagi para calon agen
literasi, selanjutnya minta mereka untuk memberikan penyuluhan yang disesuaikan
dengan budaya masyarakat setempat. Karena pola pikir modern sangat membantu
dalam menyampaikan ide-ide baru untuk kemakmuran bersama.
·
Kerjasama dengan bank atau lembaga bantuan modal
Banyak bank BUMN dan
swasta menyediakan program untuk membangun UMKM kita. Agen literasi diharapkan
bisa membantu proses registrasi untuk para UMKM ini.
Kita tidak bisa menyalahkan datangnya kebudayaan baru
sebelum mempelajarinya dengan baik. Munculnya sistem belanja online adalah upaya efisiensi dalam
pemanfaatan sumber daya ekonomi secara minimal untuk perbaikan proses sehingga
menjadi lebih murah dan lebih cepat dalam menghasilkan output yang maksimal. Biar bagaimanapun, efisiensi adalah jantung
dari ekonomi.
Semoga tulisan ini memberi manfaat.
Iya sih, ini penyebabnya mostly Krn penjual yg exist ga mau berubah mengikuti perkembangan zaman. Yakali kita disuruh mundur rame2 ke belakang, balik ke zaman dulu yg belanja hrs offline 🤣. Apa kata negara tetangga kalo tau 😅.
BalasHapusPapaku juga pengusaha bakery. Dulu pas awal2 mulai jualan online, papa juga bingung gimana memasarkan roti2 nya pakai online platform. Untungnya ada adekku yg lebih paham begitu. Jadi memang prlan2 rotinya pun dijual juga dari platform gofood, grab food dll. Ternyata memang memudahkan kok. Dan penjualan jadi naik.
Susah kalo penjual ga mau beradaptasi. Krn memang saat ini manusialah yg hrs adaptasi dengan zaman, bukan sebaliknya..kalo ga mau, ya siap2 tergilas aja