Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Jumat, 06 Oktober 2023

Merangkul UMKM Konvensional dengan Literasi Finansial


 



Di era ini, Interconnected Network atau internet sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok masyarakat dunia. Tak pandang usia, internet seakan memiliki kandungan zat adiktif karena mampu memberi efek ketergantungan yang luar biasa. Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, internet selalu setia menemani. Hal itu dianggap sangat layak mengingat banyak hal yang dijajakan pada para penggunanya. Netizen bisa dengan mudah bersosialisasi, mendapatkan informasi, hiburan, sampai dengan belanja. Cukup bermodalkan gawai dan kuota kita bisa berjelajah keliling dunia melalui dunia maya.

 

Kesempatan emas ini diambil oleh para pemilik marketplace untuk menciptakan sebuah wadah bagi para UMKM yang ingin memperluas jangkauan pendistribusian produk-produk yang mereka jual. Cakupan area pengiriman barang bisa dikatakan tidak terbatas setelah kemunculan marketplace ini. Selain itu penerapan sistem gratis ongkos kirim juga membuat marketplace memiliki value dari pada berbelanja seacara offline. Kelebihan paling menonjol adalah tersedianya layanan live streaming sehingga memungkinkan pihak penjual bisa all out dalam memasarkan produknya.

 

Munculnya kebiasaan baru dalam aktivitas jual beli ini pun menimbulkan pro dan kontra khususnya di kalangan UMKM itu sendiri. Tidak semua pengusaha UMKM mau beradaptasi dengan fenomena ini, terutama penganut gaya berjualan konvensional yang sudah terbiasa melakukan aktivitas jual beli secara tatap muka.

Padahal, pasca pandemi hampir di seluruh dunia terjadi disrupsi pada pola belanja masyarakat dari belanja offline ke online. Hal itu juga dipengaruhi oleh lebih banyaknya peminat quick commerce yakni lebih senang berbelanja segala kebutuhan tanpa harus keluar rumah.

 

Latar belakang orang memilih belanja online melalui marketplace, yaitu :

 

1.       Efisiensi waktu

Pembeli bisa tetap di rumah, memanfaatkan ponsel pintar untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan. Apalagi dalam kondisi cuaca tak menentu seperti sekarang ini, semua bisa lebih aman dan nyaman dengan pola belanja online.

 

2.       Banyak promo

Banyaknya seller yang memilih pola jualan online membuat masing-masing berusaha menawarkan promo menggiurkan agar toko mereka dilirik pembeli. Mulai dari pemberian diskon hingga gratis ongkos kirim.

 

3.       Memanfaatkan fasilitas paylater

Tak hanya penjual, beberapa penyedia marketplace memberikan penawaran paylater untuk para penggunanya. Paylater adalah system pembayaran di lain hari. Marketplace  bekerjasama dengan bank atau penyedia modal lainnya. Walaupun tidak semua pengguna bisa menikmati fasilitas ini karena tergantung pada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pengguna lebih dulu.

 

Salah satu issue yang tengah ramai menjadi perbicangan saat ini adalah pro dan kontra tentang keberadaan platform belanja online Tiktok Shop dan berakir pada sebuah keputusan dari pemerintah bahwa per 4 Oktober 2023 aplikasi jejaring sosial dan platform video music itu tidak boleh lagi menyediakan fitur berjualan. Memang di awal kemunculannya, Tiktok hanya sebuah media sosial yang memungkinkan penggunanya untuk mengunggah video bukan untuk kebutuhan berjualan. Namun dengan sendirianya fungsinya bergeser menjadi platform jualan online tanpa lebih dulu mengurus ijin pada pihak Indonesia.

 

Mulanya, hal ini dipicu karena banyaknya complaint dari para pedagang konvensional. Mereka merasa pola pemasaran berbasis live streaming dari TT Shop tidak memberikan hasil maksimal untuk mereka.  Apalagi mereka harus bersaing dengan sejumlah pedagang produk impor dengan menawarkan harga jauh lebih murah dari produk lokal Indonesia.

 

Keputusan penutupan Tiktok Shop ini pun akhirnya memunculkan kubu lain, yakni para pedagang yang justru merasa terbantu dengan keberadaan Tiktok Shop. Walaupun pada akhirnya setelah masalah ini merebak, ternyata muncul banyak alasan lain sebagai latarbelakang penutupan Tiktok Shop dari hanya sekadar merugikan UMKM Konvensional. Hal ini tentunya menjadi dilema di ranah sistem jual beli Indonesia.

 

Sebenarnya, masalahnya ada di mana?

 

Jika diamati lebih dalam, sumber masalah bukan dari Tiktok Shop-nya. Karena jika platform tersebut ditutup, masih ada beberapa marketplace lain masih exist di Indonesia dengan konsep sama.

 

Permasalahan utama adalah tentang kebiasaan lama yang tak mau diubah. Pedagang konvensional terbiasa dengan aktivitas jual beli secara tatap muka, memiliki  toko fisik, dan produk yang bisa secara langsung dilihat oleh si pembeli. Transaksi pembayaran pun dilakukan secara tunai sehingga mereka tidak perlu lagi repot antre di mesin ATM untuk menarik uang. Hal-hal sederhana dianggap sebagai zona nyaman mereka sehingga tak mau menerima kebiasaan baru karena membutuhkan waktu lagi untuk mempelajarinya.

 

 

Saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk berandai-andai jika kita adalah pedagang konvensional tiba-tiba dengan waktu super singkat harus ikut jualan di marketplace.

 

1.       Peraturan di marketplace

Setiap marketplace memberlakukan aturan masing-masing. Misal, larangan untuk berkomunikasi dengan pembeli di luar marketplace. Semua bentuk tanya jawab hanya boleh dilakukan di marketplace itu sendiri. Penjual dilarang membagikan nomor kontak pribadi pada customer.

 

2.       Kompetitor lebih banyak

Jika biasanya kita berjualan di pasar dan hanya memiliki 20 kompetitor dengan barang dengan harga jual dan kualitas sama, di marketplace kita akan bersanding dengan ratusan kompetitor dari berbagai wilayah.

 

3.       Metode pembayaran terbatas

Masih banyak pedagang enggan menggunakan pola pembayaran online dengan alasan tidak mau ribet. Walaupun di marketplace pun sudah ada sistem pembayaran Cash on Delivery (COD), tapi masih dianggap tidak cukup efektif bagi penjual konvensional

 

4.       Pencairan dana memakan waktu

Jika pedagang konvensional bisa langsung menerima dana setelah barang dibeli, tidak demikian dengan marketplace. Banyak tahap-tahap yang harus dilewati. Penjual harus menunggu sampai si pembeli memberikan konfirmasi bahwa barang sudah diterima dalam kondisi baik. Ini belum termasuk jika ada complaint, ya.

 

Itu hanya beberapa dari keseluruhan poin yang harus diadaptasi oleh para pedagang konvensional untuk bisa mengikuti perubahan pola belanja dalam masyarakat saat ini. Walaupun terkesan mudah pada teori, tapi belum tentu saat melakukan praktiknya.

  

Banyak pihak menganggap  langkah penutupan Tiktok Shop ini bukan sebuah jalan ninja untuk

menyelesaikan masalah meruginya para UMKM konvensional, karena ternyata banyak aspek lain yang melatarbelakangi kondisi ini, hanya saja tidak terdeteksi atau memang diabaikan.

 

Pola berdagang banyak dipengaruhi dari pola pikir dan pola pikir dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah informasi. Tidak menutup kemungkinan penolakan terjadi karena kurangnya informasi berkenaan dengan manfaat penggunaan marketplace itu sendiri.

 

Lantas, apa langkah selanjutnya?

 

Pada prinsipnya, masalah ini melibatkan dua pihak yang berseteru, yakni pedagang modern dan pedagang konvensional. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pihak netral seharusnya memberikan jalan tengah dengan harapan akan menghadirkan win-win solution bagi keduanya.

 

Kurang optimalnya pengenalan tentang literasi finansial adalah salah satu penyebabnya. Literasi finansial itu sendiri adalah pengetahuan dan kemampuan juga kemakhiran dalam mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, risiko, dan keterampilan konteks finansial. Literasi finansial memiliki banyak sekali manfaat terutama dalam menghadapi perubahan budaya ekonomi saat ini. Hal ini tentunya dibutuhkan untuk mengubah dan membentuk mindset baru bagi para pelaku ekonomi terutama pedagang konvensional.

 
Langkah-langkah dalam pengenalan literasi finansial :

 

·       Mengenalkan literasi keuangan digital

Pengetahuan secara langsung terkait pembelian online, pembayaran online melalui berbagai sarana, dan sistem perbankan online. Mengajarkan mereka mulai dari proses registrasi akun, hingga cara penggunaannya.

 

·       Mengenalkan tentang kemampuan aksesibilitas lebih luas

Menyampaikan informasi tentang bagaimana cara mencapai daya jangkau penjualan lebih luas, cara memilih pangsa pasar yang tepat, cara memberikan promo tanpa rugi, dsb.

 

·       Bidik agen literasi

Perangkat daerah dan kaum milenial adalah sosok tepat untuk memberikan penyuluhan ini sebagai agen literasi. Caranya, beri pelatihan dulu bagi para calon agen literasi, selanjutnya minta mereka untuk memberikan penyuluhan yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Karena pola pikir modern sangat membantu dalam menyampaikan ide-ide baru untuk kemakmuran bersama.

 

·       Kerjasama dengan bank atau lembaga bantuan modal

Banyak bank BUMN dan swasta menyediakan program untuk membangun UMKM kita. Agen literasi diharapkan bisa membantu proses registrasi untuk para UMKM ini.

 

Kita tidak bisa menyalahkan datangnya kebudayaan baru sebelum mempelajarinya dengan baik. Munculnya sistem belanja online adalah upaya efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi secara minimal untuk perbaikan proses sehingga menjadi lebih murah dan lebih cepat dalam menghasilkan output yang maksimal. Biar bagaimanapun, efisiensi adalah jantung dari ekonomi. 

 

Semoga tulisan ini memberi manfaat.

 

1 komentar:

  1. Iya sih, ini penyebabnya mostly Krn penjual yg exist ga mau berubah mengikuti perkembangan zaman. Yakali kita disuruh mundur rame2 ke belakang, balik ke zaman dulu yg belanja hrs offline 🤣. Apa kata negara tetangga kalo tau 😅.

    Papaku juga pengusaha bakery. Dulu pas awal2 mulai jualan online, papa juga bingung gimana memasarkan roti2 nya pakai online platform. Untungnya ada adekku yg lebih paham begitu. Jadi memang prlan2 rotinya pun dijual juga dari platform gofood, grab food dll. Ternyata memang memudahkan kok. Dan penjualan jadi naik.

    Susah kalo penjual ga mau beradaptasi. Krn memang saat ini manusialah yg hrs adaptasi dengan zaman, bukan sebaliknya..kalo ga mau, ya siap2 tergilas aja

    BalasHapus