Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Sabtu, 03 Desember 2022

Kemenyan Ibu


 


Pic : https://www.facebook.com/photo/?fbid=281508003818734&set=pcb.281508067152061


Hidup di antara kedua orang tua yang berbeda keyakinan, tidak membuatku lantas membenci salah satu di antara mereka. Ayahku, bekerja sebagai pengurus masjid, beliau muslim yang taat. Sementara ibuku, dikenal sebagai seorang peramal. Ia tetap meyakini bahwa Tuhan itu ada, namun berdoa itu cukup dalam hati, semua manusia toh akan mati, katanya.

 

Sejak aku kecil, ibu selalu meminta ayah memberi ilmu agama yang baik untukku. Ibu tidak membiarkanku mengikuti jejaknya : menyalakan dupa di malam-malam ganjil, menyiapkan santapan di sebuah nampan besar untuk makhluk-makhluk tak kasat mata pada tiap malam pasaran kliwon, mengumpulkan darah burung yang memiliki bulu berwarna hitam.

Ibu kerap disambangi orang-orang berduit. Mulai dari pengusaha, sampai artis-artis ternama. Mereka meminta rapalan-rapalan yang aku tak pernah bisa ingat bagaimana lafalnya, kemudian segepok uang dalam kantong plastik hitam mereka serahkan di bawah meja berbahan kayu jati asli Jepara tempat ibu meletakkan banyak cawan berisikan perlengkapan ritualnya.

 

Aku tidak tahu mengapa ayah membiarkan ibu seperti ini, pun aku sebagai anak, tak pernah punya nyali lebih untuk menegurnya. Sejujurnya, kami memang berkecukupan karena uang-uang dalam kantong plastik yang diberikan “pasien-pasien” ibu.

Setiap setahun sekali ada seorang wartawan datang, Nabil namanya. Ia datang hanya untuk bertanya tentang ramalan di tahun depan. Kemudian jawaban dari ibu nantinya akan dijadikannya bahan tulisan dan terbit di majalah yang diproduksi tempat kerjanya. Ibu biasanya meminta waktu sekitar 30 menit untuk memejamkan mata, seolah-olah menunggu bisikkan-bisikkan yang memberi informasi tentang apa yang akan terjadi di masa depan.

Pertanyaan Nabil biasanya seputar perkembangan artis. Siapa artis yang akan menikah, memiliki anak, bercerai dan meninggal dunia. Ibu biasanya hanya memberikan inisial nama mereka, tidak lebih. Sebagai peramal, ibuku cukup punya kode etik yang tak pernah ia langgar.

 

Diam-diam aku mencoba membuktikan sendiri perkataannya. Mungkin kebetulan, tapi rata-rata benar adanya. Jika meleset pun tidak akan terlalu jauh dari ramalannya. Tapi jika aku percaya ibuku sakti, itu artinya aku tak meyakini ajaran-ajaran agamaku.

Sampai suatu hari, di tanggal 27 Desember, Nabil muncul. Ibu tak menyambutnya seperti biasa.

 

Dari balik tirai ruang ritual, aku berusaha menguping pembicaraan mereka.

 

“Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di tahun depan, semuanya gelap.”

 

“Apa Ibu sakit?” Tanya Nabil dengan wajah sedikit resah.

 

“Tidak, aku sehat. Hanya saja bisikkan-bisikkan yang biasanya datang, malam ini tidak.”

 

“Mungkin tidak bisa dipaksakan hari ini, apa saya bisa datang besok? Atau mungkin lusa?

Majalahnya harus terbit Kamis ini, Bu.”

 

“Sepertinya tidak bisa, seminggu belakangan saya merasa tidak bisa lagi mengontrol mereka untuk bisa membantu saya. Cari saja peramal yang lain.”

 

“Saya tambahkan dananya ya, Bu?”

 

Ibu bangkit dari duduknya, meninggalkan Nabil yang tak mendapatkan jawaban apa-apa.

 

*

 

Dua hari setelah malam itu, Nabil kembali datang. Kali ini bukan untuk menagih ramalan, melainkan untuk bersama-sama dengan kami mengantar ibu ke pemakaman.

Mungkin, kemarin Ibu tak bisa meramal lagi tentang masa depan, karena beliau sendiri tak bisa memprediksi kematiannya yang terjadi hari ini. Ya, mungkin.

 

 ------------- Selesai ------------------


0 comments:

Posting Komentar