Kemenyan Ibu
![]() |
Pic : https://www.facebook.com/photo/?fbid=281508003818734&set=pcb.281508067152061 |
Hidup di antara kedua orang tua yang
berbeda keyakinan, tidak membuatku lantas membenci salah satu di antara mereka.
Ayahku, bekerja sebagai pengurus masjid, beliau muslim yang taat. Sementara
ibuku, dikenal sebagai seorang peramal. Ia tetap meyakini bahwa Tuhan itu ada,
namun berdoa itu cukup dalam hati, semua manusia toh akan mati, katanya.
Sejak aku kecil, ibu selalu meminta
ayah memberi ilmu agama yang baik untukku. Ibu tidak membiarkanku mengikuti
jejaknya : menyalakan dupa di malam-malam ganjil, menyiapkan santapan di sebuah
nampan besar untuk makhluk-makhluk tak kasat mata pada tiap malam pasaran
kliwon, mengumpulkan darah burung yang memiliki bulu berwarna hitam.
Ibu kerap disambangi orang-orang
berduit. Mulai dari pengusaha, sampai artis-artis ternama. Mereka meminta
rapalan-rapalan yang aku tak pernah bisa ingat bagaimana lafalnya, kemudian
segepok uang dalam kantong plastik hitam mereka serahkan di bawah meja berbahan
kayu jati asli Jepara tempat ibu meletakkan banyak cawan berisikan perlengkapan
ritualnya.
Aku tidak tahu mengapa ayah
membiarkan ibu seperti ini, pun aku sebagai anak, tak pernah punya nyali lebih
untuk menegurnya. Sejujurnya, kami memang berkecukupan karena uang-uang dalam
kantong plastik yang diberikan “pasien-pasien” ibu.
Setiap setahun sekali ada seorang
wartawan datang, Nabil namanya. Ia datang hanya untuk bertanya tentang ramalan
di tahun depan. Kemudian jawaban dari ibu nantinya akan dijadikannya bahan
tulisan dan terbit di majalah yang diproduksi tempat kerjanya. Ibu biasanya
meminta waktu sekitar 30 menit untuk memejamkan mata, seolah-olah menunggu
bisikkan-bisikkan yang memberi informasi tentang apa yang akan terjadi di masa
depan.
Pertanyaan Nabil biasanya seputar
perkembangan artis. Siapa artis yang akan menikah, memiliki anak, bercerai dan
meninggal dunia. Ibu biasanya hanya memberikan inisial nama mereka, tidak
lebih. Sebagai peramal, ibuku cukup punya kode etik yang tak pernah ia langgar.
Diam-diam aku mencoba membuktikan
sendiri perkataannya. Mungkin kebetulan, tapi rata-rata benar adanya. Jika
meleset pun tidak akan terlalu jauh dari ramalannya. Tapi jika aku percaya
ibuku sakti, itu artinya aku tak meyakini ajaran-ajaran agamaku.
Sampai suatu hari, di tanggal 27
Desember, Nabil muncul. Ibu tak menyambutnya seperti biasa.
Dari balik tirai ruang ritual, aku
berusaha menguping pembicaraan mereka.
“Aku tidak bisa melihat apa yang
terjadi di tahun depan, semuanya gelap.”
“Apa Ibu sakit?” Tanya Nabil dengan
wajah sedikit resah.
“Tidak, aku sehat. Hanya saja bisikkan-bisikkan
yang biasanya datang, malam ini tidak.”
“Mungkin tidak bisa dipaksakan hari
ini, apa saya bisa datang besok? Atau mungkin lusa?
Majalahnya harus terbit Kamis ini,
Bu.”
“Sepertinya tidak bisa, seminggu
belakangan saya merasa tidak bisa lagi mengontrol mereka untuk bisa membantu
saya. Cari saja peramal yang lain.”
“Saya tambahkan dananya ya, Bu?”
Ibu bangkit dari duduknya,
meninggalkan Nabil yang tak mendapatkan jawaban apa-apa.
*
Dua hari setelah malam itu, Nabil
kembali datang. Kali ini bukan untuk menagih ramalan, melainkan untuk
bersama-sama dengan kami mengantar ibu ke pemakaman.
Mungkin, kemarin Ibu tak bisa meramal
lagi tentang masa depan, karena beliau sendiri tak bisa memprediksi kematiannya
yang terjadi hari ini. Ya, mungkin.
0 comments:
Posting Komentar