Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Kamis, 28 Desember 2023

Target 200 Triliun dari Sektor Pariwisata, Cukupkah Hanya dengan Usulan Visa Gratis?






ilustrasi visa (iStockPhoto/belterz via KOMPAS.com)



Pembangunan di sektor pariwisata sedang gencar dilakukan di Indonesia, hal ini merupakan titik balik pasca pandemi Covid-19 yang juga sempat menyerang Indonesia.

Beragam upaya dilakukan pemerintah guna mengembalikkan minat wisatawan domestik maupun mancanegara pada salah satu sektor penyumbang devisa nomor 1 di Indonesia ini.

Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno pada hari Senin 18 Desember 2023 lalu sempat menyatakan ada 20 negara yang diusulkan mendapatkan fasilitas bebas visa kunjungan atau visa gratis masuk ke Indonesia. Diantaranya Australia, China, India, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Qatar. Lalu Uni Ermirat Arab, Arab Saudi, Belanda, Jepang, Rusia, Taiwan, Selandia Baru, Italia, dan Spanyol.

Walau masih berupa rencana, namun hal ini cukup menarik perhatian. Pasalnya, apakah efektif jika usulan tersebut benar-benar diberlakukan? Padahal salah satu faktor turis asing liburan ke Indonesia karena biaya yang relatif murah dibanding negara lain. Apa perlu sampai gratis visa kunjungan?

Apakah akan tercapai misi dari Menparekraf yang menargetkan 200 triliun di tahun depan dengan pemberlakuan ini?

Dari berbagai sumber dirangkum, 3 faktor utama yang membuat wisatawan asing tertarik untuk berkunjung ke Indonesia yakni, budget terjangkau, destinasi wisata yang unik, serta keindahan alam dan kebudayaan yang beragam.

Lantas apa yang mengakibatkan target di sektor ini masih belum tercapai?

Tempat wisata yang masih belum banyak tereksplor

Sebagai orang yang pernah beberapa kali menyempatkan diri untuk berwisata di dalam negeri, saya melihat lokasi wisata di sejumlah daerah belum dieksplor dengan maksimal. Seperti beberapa tempat wisata di Pulau Madura. Seperti Museum Keraton Sumenep. Makam Raja-Raja Asta Tinggi Sumenep, dan beberapa tempat lain di sana yang masih sepi turis asing.

Memang, saya sengaja mendatangi tempat wisata yang dinyatakan masih sepi pengunjung oleh masyarakat sekitar. Dan ternyata memang sesepi itu. Malah jadi terkesan creepy.

Jika kita mencari melalui mesin pencari Google, tempat wisata terpopuler di Indonesia yang akan muncul lagi dan lagi, Bali, Lombok, Canggu, Komodo, Kepulauan Gili, Nusa Penida, Kuta, dan sejumlah area lain di Bali Nusra.

Mengutip dari Hindu Ensiklopedi Indonesia, Bali jauh lebih terkenal dari Indonesia karena Bali lebih dulu diperkenalkan oleh Belanda daripada negaranya Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah nama Pulau Bali sudah ada sejak 914 Masehi, sebelum Indonesia lahir.

Hal itu menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari pulau dewata dan area-area di sekitarnya. Selain itu, masyarakat lokal juga menyadari betul "modal" yang dimiliki daerahnya bisa menghasilkan devisa negara, sehingga mereka memanfaatkan hal tersebut dengan memaksimalkan potensi yang ada.

Seiring berjalannya waktu, tempat yang populer akan semakin populer, dan yang memang kurang dikenal akan makin tersisihkan.

Kurangnya pemanfaatan media sosial untuk menarik atensi turis asing

Sejumlah media sosial memberikan keleluasaan pada penggunanya untuk mengunggah foto dan video hasil kreasi mereka. Seperti Facebook, Tiktok dan Instagram. Sayangnya, hal tersebut tidak dimanfaatkan secara cermat. Mayoritas masyarakat Indonesia masih lebih senang mengunggah hal-hal yang bisa dikatakan kurang bermanfaat seperti gemar mengangkat isu-isu yang belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Entah belum menyadari, atau tidak peduli, mengunggah dokumentasi tempat wisata ke media sosial sekalipun lokasinya tidak populer bisa menjadi salah satu ide mengajak orang untuk ikut berkunjung.

Karena masing-masing orang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap sebuah objek. Bisa di mata kita biasa saja, tapi Istimewa di mata orang lain.

Tak hanya itu, pihak pengelola tempat wisata juga kurang memanfaatkan media sosial sebagai pusat informasi bagi calon pengunjung yang ingin datang. Ada beberapa tempat wisata yang mempunyai akun media sosial namun sayangnya pembaharuan informasi tidak dibuat secara berkala. Sehingga akun tersebut seperti akun bodong, padahal pada bionarasi di profil tertulis ini merupakan akun resmi tempat wisata tersebut.

Jika pengelola akun tak bisa berbahasa Inggris, jangan khawatir, hampir di semua media sosial sudah ada fitur translate. Cukup sekali klik maka bahasa yang digunakan bisa berubah sesuai negara si pencari informasi.

Jangan lupa penggunaan hastag yang sesuai pada tiap unggahan, hal itu cukup penting untuk mempermudah mesin pencari menemukan unggahan yang diharapkan.

Koleksi Pribadi

Kurangnya atensi masyarakat pada wisata lokal

Budaya gengsi masih sangat melekat pada jiwa orang Indonesia. Gengsi ini termasuk dalam pola liburan. Mengunjungi tempat-tempat yang kurang popular dianggap sesuatu yang tak layak dikisahkan. Indonesia masih menerapkan yang mahal adalah yang terbaik. Sehingga akhirnya memilih diam dan hanya menikmati tempat wisatanya sendiri. Hal itu merupakan salah satu faktor penghambat berkembangnya informasi tempat-tempat wisata Indonesia yang belum banyak dikenal.

Lain dari itu, masyarakat lokal sendiri kurang memanfaatkan diri mendukung wisata lokal yang ada di sekitarnya. Untuk menyasar turis asing modal pertama yang wajib dimiliki adalah kemampuan berbahasa.

Lagi-lagi Bali menjadi contoh, di Bali mulai dari anak-anak hingga orang tua memang dibiasakan minimal 3 bahasa, yakni Bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris. Walaupun di sana memang banyak turis asing sehingga dalam praktik kesehariannya akan jauh lebih mudah.

Tapi rasanya untuk lokasi lain, tak perlu menunggu banyak turis asing dulu untuk mau belajar Bahasa Inggris. Sejak di sekolah dasar, kita sudah belajar Bahasa inggris, supaya naik level ada sejumlah Lembaga Bahasa yang tersedia, mau lebih mudah dan murah bisa belajar dari internet.

Kurangnya jaminan keamanan untuk turis asing

Fenomena catcalling saat ini cukup naik daun. Catcalling adalah pelecehan seksual. Pelaku melakukan catcalling kepada korban dengan menyerang atribut seksual yang dimilikinya. Contoh seperti siulan, kedipan mata, atau pujian pada salah satu anggota tubuh (biasanya terjadi pada perempuan).

Hal ini pernah viral terjadi di area wisata Gili Trawangan. Jika pada sesama warga Indonesia saja bisa terjadi apalagi pada turis asing yang biasanya dalam berpakaian bisa dikatakan lebih berani dan sudah terjadi di Jakarta, pelaku adalah seorang sopir taksi dan korbannya adalah seorang bule Rusia. Imbasnya adalah pemecatan pada sang sopir.

Belum lagi ada Masyarakat lokal yang nakal di area wisata. Seperti meminta dana tambahan di luar HTM atau menaikkan harga yang jauh di atas batas normal karena memanfaatkan situasi.

Apakah terbayangkan pelaku bagaimana dampaknya jika hal tersebut menjadi viral di negara korban?

Minimnya gelaran event dalam menonjolkan suatu tempat wisata

Keindahan alam dan kebudayaan yang beragam menjadi salah satu faktor penting yang dimiliki Indonesia. Saat ini pemerintah hanya terfokus pada Pembangunan dan perbaikan di sejumlah tempat wisata. Lantas apakah itu saja dianggap cukup menarik?

Dari kacamata saya, digelarnya sebuah kegiatan entah dalam bentuk festival atau perayaan di suatu tempat akan lebih menarik pengunjung untuk datang. Apalagi dalam acara tersebut terdapat pesan-pesan khusus seperti memperkenalkan kebudayaan atau lokasi wisata tempat digelarnya acara.

Jika biasanya gelaran event dilakuakn setahun sekali, mungkin bisa dibuat setahun 2-3 kali. Cari lokasi-lokasi wisata yang masih jarang dikunjungi, berdayakan masyarakat sekitar untuk ikut terlibat dalam acara tersebut.

Lagi dan lagi, manfaatkan the power of social media untuk menyasar pengunjung yang lebih luas.


Koleksi pribadi / Pantai Watu Dodol Banyuwangi

Ajak kerjasama blogger ataupun vlogger untuk memasarkan sebuah lokasi wisata

Tak bisa dipungkiri, keberadaan blogger dan vlogger saat ini cukup penting dalam memasarkan sebuah bisnis. Review dari mereka adalah hal yang saat ini cukup dicari alasannya, mereka bisa menuturkan penilaian dengan teknik yang unik. Blogger bisa menguraikan dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca, sementara vlogger bisa memaparkan pengalamannya melalui video-video estetik.

Tidak semua blogger dan vlogger memasang tarif yang tinggi. Temukan blogger dan vlogger yang punya Niche yang suka travelling. Karena ajakan kerjasama ini juga sekaligus menjadi portfolio pribadinya. Sehingga ia tak kebingungan dalam me-review tempat wisata.

Faktor-faktor di atas merupakan opini saya pribadi sebagai orang yang pernah kesulitan menemukan informasi tempat wisata yang seharusnya bisa ikut-ikutan viral seperti yang lainnya yang sepertinya itu-itu saja.

Sepertinya ini saatnya pemerintah menggandeng masyarakat dan mencari jalan keluar lain daripada sekadar menggratiskan visa kunjungan. 

Salam

0 comments:

Posting Komentar