Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Sabtu, 03 Desember 2022

Bibliophile


Sau i totonu, tago i ai, ave ese

Faʻaumatia mea taua i le tino

Ta'e atoatoa mea uma

Sau i totonu, tago i ai, ave ese

Faʻaumatia mea taua i le tino

Ta'e atoatoa mea uma

Gadis itu mengucapkan ayat-ayat Fetuu Gagana dengan suara pelan dan lirih. Tepat di tengah malam, saat orang yang dituju tengah tertidur lelap di kamar sebelah.

 

pic : https://dukrefnews.com/


Hardwin mengoles sedikit saus tomat di atas roti yang baru 2 menit lalu keluar dari alat panggang. Val, kakaknya, memperhatikan cara Hardwin mengambil saus tomat dari dalam wadahnya, ia memastikan tak ada tumpahan di taplak meja makan yang akan membuat 10 menitnya hari ini menjadi terbuang sia-sia karena harus membersihkannya.

“Tenang, tak akan ada tumpahan kali ini. Tak perlu wajahmu kusut seperti itu, Val,” ledek Hardwin.

“Tak ada salahnya antisipasi, karena kuhitung 678 kali sudah kau membuat taplak meja ibu ternoda dengan apa pun yang kau makan.”

“Ya, tapi tidak untuk kali ini. Ah, ya, apa kau tahu dulu saus tomat pernah diperjualbelikan sebagai obat?”

Val mengendikkan bahunya. Keningnya berkerut.

“Karena saus tomat dulu berbahan jamur. Tapi sebutannya saja saus tomat, tidak ada kandungan tomat sama sekali. Orang-orang jaman dulu selalu aneh, sekalipun mereka cerdas. Kau jangan terlalu banyak menonton drama korea, Val. Lihat, apa ada laki-laki yang menjemputmu untuk sekedar makan seblak di Paulton’s Park beberapa bulan terakhir? Tidak ada, kan? Karena tidak semua laki-laki suka perempuan manis yang hanya senang dengan romantisme musim salju. Mereka butuh perempuan cerdas yang bisa diajak diskusi.”

Val terhenyak, Hardwin selalu bisa mematahkan dirinya hanya dalam beberapa kalimat saja. Dan ini sudah kesekian kali acara sarapan menjadi momen mengerikan.

Ibu datang di saat yang tepat. Perempuan paruh baya yang masih cantik itu paling tidak suka jika ada perdebatan di ruang makan. Namun, ibu pun tak pernah melarang Hardwin untuk berkata-kata yang menyebalkan, dan ayah, ia tidak peduli dengan apa pun kecuali pekerjaan.

10 tahun belakangan, kakak-beradik ini tidak lagi tidur sekamar. Val yang memohon pada kedua orang tua mereka agar kamar keduanya dipisahkan. Hardwin terkadang tak peduli jika saudarinya butuh privasi. Hardwin suka diam-diam membaca buku harian Val kemudian menjadi bahan bulan-bulanannya sebagai hiburan.

Ada kejadian yang membuat Val merasa benar-benar dipermalukan. Hardwin meledeknya setelah ia berhasil menemukan sebuah fakta dari dalam buku harian Val, saudarinya itu menyukai Cello, sepupu mereka.  

Pada malam Natal tahun lalu, keluarga mereka mengundang Cello beserta Paman Billie dan Bibi Ruth, kedua orang tuanya. Selepas acara makan malam, para orang tua berbincang di ruang keluarga. Tiga sepupu ini memilih berbincang di kolam ikan samping rumah dengan sebotol wine yang diambil Hardwin diam-diam dari lemari ayah.

“Cello, apa kau akan menikah dengan kakakku?” Hardwin melempar tanya tanpa merasa berdosa.

“Apa maksudmu?” Balas Cello sambil menggoncangkan gelas wine di tangannya.

“Sepertinya Val menyukaimu,”

Seakan tertimpa runtuhan bangunan Champlain Towers South, seketika  Val merasa kepalanya sakit dan dadanya sesak. Bagaimana bisa adik kandungnya mempermalukannya langsung di hadapan orang yang ia sukai.

Cello terbahak, hampir tersedak Domaine du Vissoux yang belum 100 persen masuk ke tenggorokannya. Humor Hardwin kali ini benar-benar membuatnya tertawa.

“Jika memang kalian akan menikah, itu wajar,” terang Hardwin tenang.

“Apa kau tidak bisa menghentikan lawakan kampunganmu?” Val kali ini tak bisa lagi menahan emosi. Tangannya yang terkepal ia sembunyikan di balik tubuhnya.

“Tenang, Val. Mungkin kau bisa menjadi seorang ilmuwan setelah menikahi Cello.  Albert Einstein dan Charles Darwin menikahi sepupu mereka. Bukankah ini sebuah ide bagus? Yah, walaupun mereka menjadi ilmuwan dulu baru kemudian menikah, tapi kita perlu percaya pada keajaiban Tuhan, bukan?”

Cello membenarkan posisi duduknya, sepertinya ia bisa membaca situasi ini bukan lagi sekedar bincang-bincang sederhana. Ia bisa melihat ekspresi Val yang berbeda dari biasanya,

“Aku salut padamu, Bro. Sepertinya hobi membacamu sudah sampai kemana-mana.” Cello berusaha mencairkan suasana.

“Lumayan, aku lebih suka menyisihkan uang jajanku untuk bertumpuk-tumpuk buku dari pada hanya sekadar menonton acara music bersama teman-temanku yang tidak berguna.”

“Keren! Aku masih belum bisa mengubah pola pikirku menjadi sepertimu,”

“Jangan, jadilah seperti ini terus, Kalau bukan kau dan Val, lantas siapa yang akan memuji isi otakku?”

Sejak kecil Hardwin memang dikenal sebagai bibliophile di kalangan keluarga besar. Ia kerap mencari buku-buku unik dan kuno di Pasar Portobello yang selalu buka di hari Jumat dan Sabtu setiap pekan. Positifnya, Hardwin lebih memilih menabung uang jajannya untuk membeli buku yang seharga satu unit motor baru. Ibu atau ayah tak pernah melarang Hardwin dengan bibliofilisme-nya asalkan ia tak sampai menyerupai Stephen Carrie Blumberg yang membuat perpustakaan pribadi dimana 23.600 buku itu adalah hasil curian.

 

Kadangkala Val sangat ingin mendengar fakta bahwa Hardwin bukan adik sekandungnya. Mereka begitu berbeda dan Hardwin sangat menyebalkan. Hardwin menggunakan kepintarannya untuk mempermalukan saudarinya. Val merasa selalu dianggap bodoh.

*
Sebentar lagi Hardwin akan merayakan ulang tahunnya. Jika bukan karena orang tuanya, Val sama sekali tak ingin memberikan kejutan apa-apa. Dengan terpaksa sejak dua minggu terakhir Val berpikir keras, hadiah apa yang cocok untuk adiknya. Sebuah ide muncul dalam otaknya. Val mulai mendatangi banyak pasar loak yang tersebar di kota ini. Dengan bantuan bapak tua Alton, si pemilik toko, Val mendapatkan buku kuno dengan harga miring. Alton mengenal adiknya dengan sangat baik. Mereka sering terlibat dalam banyak diskusi tentang buku-buku kuno yang banyak dicari kolektor. Alton sangat paham buku apa yang diinginkan Hardwin dan apa yang dijualnya pada Val hari ini adalah salah satu buku impian Hardwin.

Val tak langsung pergi setelah menyelesaikan akad jual beli, ia menyempatkan diri membuka lembar demi lembar halaman buku itu. Huruf-huruf yang ditulis sulit dipahami.

Alton memperhatikan gadis muda konsumen pertamanya hari ini.

“Ada apa, Nona? Kertasnya jelek? Kau ingin menukarnya dengan judul yang lain?”

“Tidak, Tuan. Hanya penasaran dengan bunyi mantera-mantera ini. Apa anda paham?”

“Sedikit. Tapi ini tidak bisa diucapkan sembarangan. Kau harus memiliki hati yang bersih dulu, waspada saja. Mantera-mantera ini membahayakan.”

“Apa yang akan terjadi?”

“Jika kau tidak menyukai seseorang, mantera ini akan menyakitinya, bahkan menghilangkan nyawanya.”

Muncul sebuah ide dalam benak Val, apa tidak sebaiknya mantera itu dia pakai untuk menyelesaikan keresahannya pada sikap Hardwin? Tapi, apakah tidak terlalu jahat jika itu dilakukan?

Alton menangkap kebingungan di wajah Val. Ia bergerak cepat menuliskan sesuatu pada selembar kertas. Kemudian menyerahkan pada Val.

“Bacalah ketika kau sudah tenang, ingat, mantera ini sangat berbahaya jika dengan sengaja kau salah gunakan. Simpan baik-baik, jangan biarkan kertas ini jatuh ke tangan orang lain.”

Val mengantongi kertas itu di saku jaketnya. Peringatan dari Alton diingat sebaik-baiknya.

*

Malam ini Val merasa tidak tenang. Pikirannya tertuju pada mantera-mantera itu. Rasanya ia ingin melakukan hal yang berseberangan dengan peringatan Alton. Berulangkali Val menyentuh kertas yang ia simpan di bawah bantal tidurnya. Tiga menit pertama iblis menggodanya, 3 menit selanjutnya malaikat kembali memintanya untuk membatalkan niat jahat, begitu seterusnya.

Namun, sayangnya Val tak bisa menahan emosinya sendiri. Ia bangkit dari posisi telentang, duduk bersila di atas ranjang, perlahan dan pasti ia buka lipatan kertas di tangannya.

Bibirnya membaca ayat demi ayat yang dituliskan Alton di sana. Kepalanya terus mengingat hal-hal menyakitkan yang sudah Hardwin buat padanya.

Seketika angin berembus dari luar jendela. Ia bisa merasakan hawa jahat masuk melalui ventilasi kamarnya dan menuju ke kamar sebelah, tempat di mana Hardwin berada. Tanpa sadar Val menyunggingkan senyum. Senyum yang begitu puas. Terdengar suara teriakan kesakitan Hardwin dari kamarnya. Semakin kencang adiknya berteriak, Val semakin puas. Seiring dengan lenyapnya suara Hardwin secara perlahan, muncul kantuk luar biasa pada diri Val. Ia tertidur pulas.

 

Val bermimpi didatangi seseorang yang mengaku sebagai si pemilik mantera. Ia mengatakan bahwa yang tadi terjadi seperti sebuah pertunjukan hebat setelah lebih dari satu abad tidak ada generasi baru. Secara tidak langsung, Val sudah mengirimkan Hardwin ke alam lain, menjadi pengikut mereka. Val merasa sangat senang. Hardwin akhirnya tak lagi mengganggu hari-harinya.

 

*

 

Sebuah tepukan di pipi membangunkan Val. Ia begitu terkejut saat matanya dibuka. Hardwin muncul di depan matanya, dengan senyum dan tatapan usilnya.

Ia masih tetap sama. Semua baik-baik saja.

“Apa kita berada di alam lain?” suara Val terdengar lemah.

“Alam apa maksudmu, Bodoh?”

“Kau baik-baik saja, Hard?”

“Yang tidak baik-baik saja jelas bukan aku, tapi kau. Cello menitipkan salam padamu. Dia, paman dan bibi pulang saat kau tertidur di pinggir kolam. Cello juga yang memindahkanmu ke kamar. Memalukan.”

Val merasakan kepalanya sakit, ia mengerjapkan mata beberapa kali, melihat langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda. Ya, benar, ini kamarnya.

Hardwin meninggalkan Val yang masih kebingungan. Gadis itu mencari ponselnya, ia mencari ayat-ayat Fetuu Gagana dengan bantuan google. Semua yang dituliskan Alton sama persis dengan yang ia temukan di salah satu website yang mengulas sejarah sihir itu. Val Kembali ke ranjangnya, mengangkat bantal tidurnya, namun ia tak menemukan sepotong kertas yang ditulis Alton di sana.

“Jika ini memang hanya mimpi mengapa semua terasa jelas sekali? Begitu nyata.” Pungkasnya dalam hati.

Badan Val kembali lemas, matanya tak bisa terbuka dengan sempurna. Ia sulit bernapas, rasanya begitu sesak dan menyakitkan.

Hardwin tersenyum dari dalam kamarnya, potongan kertas itu ada padanya. Laki-laki muda itu terus merapal ayat-ayat Fetuu Gagana dengan cara berbeda, dari belakang ke depan, sehingga iblis-iblis yang dikirimkan untuk merenggut nyawanya justru kembali ke si pengirimnya. Sayangnya, Alton, si penjual buku, tidak memberi informasi lengkap bagaimana mantera itu bekerja.

Hardwin mendatangi kamar kakaknya, memastikan gadis itu sudah tak lagi bernyawa.

“Ingat, saudariku. Ini alasan mengapa aku ingin kau menjadi lebih cerdas.”

---- Selesai -----

0 comments:

Posting Komentar