Bibliophile
Sau i totonu, tago i ai, ave ese
Faʻaumatia mea taua i le tino
Ta'e atoatoa mea uma
Sau i totonu, tago i ai, ave ese
Faʻaumatia mea taua i le tino
Ta'e atoatoa mea uma
Gadis itu mengucapkan ayat-ayat Fetuu Gagana
dengan suara pelan dan lirih. Tepat di tengah malam, saat orang yang dituju
tengah tertidur lelap di kamar sebelah.
![]() |
pic : https://dukrefnews.com/ |
Hardwin mengoles sedikit saus tomat di atas
roti yang baru 2 menit lalu keluar dari alat panggang. Val, kakaknya,
memperhatikan cara Hardwin mengambil saus tomat dari dalam wadahnya, ia
memastikan tak ada tumpahan di taplak meja makan yang akan membuat 10 menitnya hari
ini menjadi terbuang sia-sia karena harus membersihkannya.
“Tenang, tak akan ada tumpahan kali ini. Tak
perlu wajahmu kusut seperti itu, Val,” ledek Hardwin.
“Tak ada salahnya antisipasi, karena
kuhitung 678 kali sudah kau membuat taplak meja ibu ternoda dengan apa pun yang
kau makan.”
“Ya, tapi tidak untuk kali ini. Ah, ya, apa
kau tahu dulu saus tomat pernah diperjualbelikan sebagai obat?”
Val mengendikkan bahunya. Keningnya
berkerut.
“Karena saus tomat dulu berbahan jamur. Tapi
sebutannya saja saus tomat, tidak ada kandungan tomat sama sekali. Orang-orang
jaman dulu selalu aneh, sekalipun mereka cerdas. Kau jangan terlalu banyak
menonton drama korea, Val. Lihat, apa ada laki-laki yang menjemputmu untuk
sekedar makan seblak di Paulton’s Park beberapa bulan terakhir? Tidak ada, kan?
Karena tidak semua laki-laki suka perempuan manis yang hanya senang dengan
romantisme musim salju. Mereka butuh perempuan cerdas yang bisa diajak diskusi.”
Val terhenyak, Hardwin selalu bisa
mematahkan dirinya hanya dalam beberapa kalimat saja. Dan ini sudah kesekian
kali acara sarapan menjadi momen mengerikan.
Ibu datang di saat yang tepat. Perempuan paruh
baya yang masih cantik itu paling tidak suka jika ada perdebatan di ruang
makan. Namun, ibu pun tak pernah melarang Hardwin untuk berkata-kata yang
menyebalkan, dan ayah, ia tidak peduli dengan apa pun kecuali pekerjaan.
10 tahun belakangan, kakak-beradik ini tidak
lagi tidur sekamar. Val yang memohon pada kedua orang tua mereka agar kamar
keduanya dipisahkan. Hardwin terkadang tak peduli jika saudarinya butuh
privasi. Hardwin suka diam-diam membaca buku harian Val kemudian menjadi bahan
bulan-bulanannya sebagai hiburan.
Ada kejadian yang membuat Val merasa
benar-benar dipermalukan. Hardwin meledeknya setelah ia berhasil menemukan
sebuah fakta dari dalam buku harian Val, saudarinya itu menyukai Cello, sepupu
mereka.
Pada malam Natal tahun lalu, keluarga mereka
mengundang Cello beserta Paman Billie dan Bibi Ruth, kedua orang tuanya. Selepas
acara makan malam, para orang tua berbincang di ruang keluarga. Tiga sepupu ini
memilih berbincang di kolam ikan samping rumah dengan sebotol wine yang diambil
Hardwin diam-diam dari lemari ayah.
“Cello, apa kau akan menikah dengan
kakakku?” Hardwin melempar tanya tanpa merasa berdosa.
“Apa maksudmu?” Balas Cello sambil menggoncangkan
gelas wine di tangannya.
“Sepertinya Val menyukaimu,”
Seakan tertimpa runtuhan bangunan Champlain
Towers South, seketika Val merasa kepalanya
sakit dan dadanya sesak. Bagaimana bisa adik kandungnya mempermalukannya langsung
di hadapan orang yang ia sukai.
Cello terbahak, hampir tersedak Domaine du
Vissoux yang belum 100 persen masuk ke tenggorokannya. Humor Hardwin kali ini
benar-benar membuatnya tertawa.
“Jika memang kalian akan menikah, itu
wajar,” terang Hardwin tenang.
“Apa kau tidak bisa menghentikan lawakan
kampunganmu?” Val kali ini tak bisa lagi menahan emosi. Tangannya yang terkepal
ia sembunyikan di balik tubuhnya.
“Tenang, Val. Mungkin kau bisa menjadi
seorang ilmuwan setelah menikahi Cello. Albert
Einstein dan Charles Darwin menikahi sepupu mereka. Bukankah ini sebuah ide
bagus? Yah, walaupun mereka menjadi ilmuwan dulu baru kemudian menikah, tapi
kita perlu percaya pada keajaiban Tuhan, bukan?”
Cello membenarkan posisi duduknya,
sepertinya ia bisa membaca situasi ini bukan lagi sekedar bincang-bincang
sederhana. Ia bisa melihat ekspresi Val yang berbeda dari biasanya,
“Aku salut padamu, Bro. Sepertinya hobi
membacamu sudah sampai kemana-mana.” Cello berusaha mencairkan suasana.
“Lumayan, aku lebih suka menyisihkan uang
jajanku untuk bertumpuk-tumpuk buku dari pada hanya sekadar menonton acara
music bersama teman-temanku yang tidak berguna.”
“Keren! Aku masih belum bisa mengubah pola
pikirku menjadi sepertimu,”
“Jangan, jadilah seperti ini terus, Kalau
bukan kau dan Val, lantas siapa yang akan memuji isi otakku?”
Sejak kecil Hardwin memang dikenal sebagai bibliophile
di kalangan keluarga besar. Ia kerap mencari buku-buku unik dan kuno di Pasar
Portobello yang selalu buka di hari Jumat dan Sabtu setiap pekan. Positifnya, Hardwin
lebih memilih menabung uang jajannya untuk membeli buku yang seharga satu unit
motor baru. Ibu atau ayah tak pernah melarang Hardwin dengan bibliofilisme-nya
asalkan ia tak sampai menyerupai Stephen Carrie Blumberg yang membuat
perpustakaan pribadi dimana 23.600 buku itu adalah hasil curian.
Kadangkala Val sangat ingin mendengar fakta
bahwa Hardwin bukan adik sekandungnya. Mereka begitu berbeda dan Hardwin sangat
menyebalkan. Hardwin menggunakan kepintarannya untuk mempermalukan saudarinya.
Val merasa selalu dianggap bodoh.
*
Sebentar lagi Hardwin akan merayakan ulang tahunnya. Jika bukan karena orang
tuanya, Val sama sekali tak ingin memberikan kejutan apa-apa. Dengan terpaksa sejak
dua minggu terakhir Val berpikir keras, hadiah apa yang cocok untuk adiknya. Sebuah
ide muncul dalam otaknya. Val mulai mendatangi banyak pasar loak yang tersebar
di kota ini. Dengan bantuan bapak tua Alton, si pemilik toko, Val mendapatkan
buku kuno dengan harga miring. Alton mengenal adiknya dengan sangat baik. Mereka
sering terlibat dalam banyak diskusi tentang buku-buku kuno yang banyak dicari
kolektor. Alton sangat paham buku apa yang diinginkan Hardwin dan apa yang
dijualnya pada Val hari ini adalah salah satu buku impian Hardwin.
Val tak langsung pergi setelah menyelesaikan
akad jual beli, ia menyempatkan diri membuka lembar demi lembar halaman buku
itu. Huruf-huruf yang ditulis sulit dipahami.
Alton memperhatikan gadis muda konsumen
pertamanya hari ini.
“Ada apa, Nona? Kertasnya jelek? Kau ingin
menukarnya dengan judul yang lain?”
“Tidak, Tuan. Hanya penasaran dengan bunyi
mantera-mantera ini. Apa anda paham?”
“Sedikit. Tapi ini tidak bisa diucapkan
sembarangan. Kau harus memiliki hati yang bersih dulu, waspada saja.
Mantera-mantera ini membahayakan.”
“Apa yang akan terjadi?”
“Jika kau tidak menyukai seseorang, mantera
ini akan menyakitinya, bahkan menghilangkan nyawanya.”
Muncul sebuah ide dalam benak Val, apa tidak
sebaiknya mantera itu dia pakai untuk menyelesaikan keresahannya pada sikap
Hardwin? Tapi, apakah tidak terlalu jahat jika itu dilakukan?
Alton menangkap kebingungan di wajah Val. Ia
bergerak cepat menuliskan sesuatu pada selembar kertas. Kemudian menyerahkan
pada Val.
“Bacalah ketika kau sudah tenang, ingat, mantera
ini sangat berbahaya jika dengan sengaja kau salah gunakan. Simpan baik-baik,
jangan biarkan kertas ini jatuh ke tangan orang lain.”
Val mengantongi kertas itu di saku jaketnya.
Peringatan dari Alton diingat sebaik-baiknya.
*
Malam ini Val merasa tidak tenang.
Pikirannya tertuju pada mantera-mantera itu. Rasanya ia ingin melakukan hal
yang berseberangan dengan peringatan Alton. Berulangkali Val menyentuh kertas
yang ia simpan di bawah bantal tidurnya. Tiga menit pertama iblis menggodanya,
3 menit selanjutnya malaikat kembali memintanya untuk membatalkan niat jahat,
begitu seterusnya.
Namun, sayangnya Val tak bisa menahan
emosinya sendiri. Ia bangkit dari posisi telentang, duduk bersila di atas
ranjang, perlahan dan pasti ia buka lipatan kertas di tangannya.
Bibirnya membaca ayat demi ayat yang
dituliskan Alton di sana. Kepalanya terus mengingat hal-hal menyakitkan yang
sudah Hardwin buat padanya.
Seketika angin berembus dari luar jendela.
Ia bisa merasakan hawa jahat masuk melalui ventilasi kamarnya dan menuju ke
kamar sebelah, tempat di mana Hardwin berada. Tanpa sadar Val menyunggingkan
senyum. Senyum yang begitu puas. Terdengar suara teriakan kesakitan Hardwin
dari kamarnya. Semakin kencang adiknya berteriak, Val semakin puas. Seiring
dengan lenyapnya suara Hardwin secara perlahan, muncul kantuk luar biasa pada
diri Val. Ia tertidur pulas.
Val bermimpi didatangi seseorang yang
mengaku sebagai si pemilik mantera. Ia mengatakan bahwa yang tadi terjadi
seperti sebuah pertunjukan hebat setelah lebih dari satu abad tidak ada
generasi baru. Secara tidak langsung, Val sudah mengirimkan Hardwin ke alam
lain, menjadi pengikut mereka. Val merasa sangat senang. Hardwin akhirnya tak
lagi mengganggu hari-harinya.
*
Sebuah tepukan di pipi membangunkan Val. Ia
begitu terkejut saat matanya dibuka. Hardwin muncul di depan matanya, dengan
senyum dan tatapan usilnya.
Ia masih tetap sama. Semua baik-baik saja.
“Apa kita berada di alam lain?” suara Val
terdengar lemah.
“Alam apa maksudmu, Bodoh?”
“Kau baik-baik saja, Hard?”
“Yang tidak baik-baik saja jelas bukan aku,
tapi kau. Cello menitipkan salam padamu. Dia, paman dan bibi pulang saat kau
tertidur di pinggir kolam. Cello juga yang memindahkanmu ke kamar. Memalukan.”
Val merasakan kepalanya sakit, ia
mengerjapkan mata beberapa kali, melihat langit-langit kamarnya yang berwarna
biru muda. Ya, benar, ini kamarnya.
Hardwin meninggalkan Val yang masih
kebingungan. Gadis itu mencari ponselnya, ia mencari ayat-ayat Fetuu Gagana
dengan bantuan google. Semua yang dituliskan Alton sama persis dengan yang ia
temukan di salah satu website yang mengulas sejarah sihir itu. Val Kembali ke
ranjangnya, mengangkat bantal tidurnya, namun ia tak menemukan sepotong kertas
yang ditulis Alton di sana.
“Jika ini memang hanya mimpi mengapa semua
terasa jelas sekali? Begitu nyata.” Pungkasnya dalam hati.
Badan Val kembali lemas, matanya tak bisa
terbuka dengan sempurna. Ia sulit bernapas, rasanya begitu sesak dan
menyakitkan.
Hardwin tersenyum dari dalam kamarnya,
potongan kertas itu ada padanya. Laki-laki muda itu terus merapal ayat-ayat Fetuu
Gagana dengan cara berbeda, dari belakang ke depan, sehingga iblis-iblis yang
dikirimkan untuk merenggut nyawanya justru kembali ke si pengirimnya. Sayangnya,
Alton, si penjual buku, tidak memberi informasi lengkap bagaimana mantera itu
bekerja.
Hardwin mendatangi kamar kakaknya, memastikan
gadis itu sudah tak lagi bernyawa.
“Ingat, saudariku. Ini alasan mengapa aku
ingin kau menjadi lebih cerdas.”
0 comments:
Posting Komentar