Sebuah Wawancara
![]() |
Pic : Google |
Jumat adalah hari yang dinantikan hampir semua karyawan kantoran. Mereka
akan pulang tepat waktu atau satu jam lebih cepat dari biasanya. Sama halnya dengan
Diana, biasanya saat waktu menunjukkan hampir pukul lima sore, ia bersama yang
lainnya pasti sudah menutup laptop dan berkerumun di depan pintu keluar. Namun,
setelah dipromosikan menjadi Assistant Human Resource Manager, Jumat atau hari
lainnya terasa sama saja, ia tidak bisa bergerak dari kursinya. Seperti hari
ini, Diana masih harus me-review application form yang sudah diisi belasan
pelamar yang hari ini datang memenuhi panggilan wawancara, padahal suasana di
kantor sudah sangat sepi. Yang tersisa hanya Diana, dua orang office boy dan
tiga orang security yang berpencar di tempat jaga masing-masing.
“Belum pulang, Bu?” Tanya Suko, office boy yang bekerja di kantor ini sejak
dua tahun yang lalu.
“Duh, kamu bikin kaget. Hampir selesai kok. Oh, ya, saya minta kopi nanti
antar aja ke taman. Saya mau duduk-duduk di sana dulu. Sesak juga lama-lama di
dalam,”
Suko mengangguk menerima perintah pimpinan.
Akhirnya lembar terakhir selesai, Diana merapikan meja kerjanya, lalu bergegas
menuju taman belakang. Matanya menyapu pemandangan di sekelilingnya dan
berhenti pada seorang laki-laki yang duduk sendirian. Seharusnya di jam-jam
seperti ini sudah tak ada lagi tamu yang boleh berkeliaran kecuali punya urusan
dengan salah satu staff yang ada.
Diana berusaha mengingat-ingat wajah itu. Walau lupa namanya namun akhirnya
ia mengenalinya, pria yang beberapa jam lalu ia wawancara.
“Hai, masih di sini?” Sapa Diana ramah.
“Iya, Bu.” Balas pria itu dengan wajah sedikit murung.
“Kenapa belum pulang? Hasilnya masih lusa, loh. Masa mau nginap di sini?”
Canda Diana yang diiringi tawa renyah berusaha mencairkan suasana agar sedikit
mengubah ekspresi lawan bicaranya.
Suko muncul membawa secangkir kopi pesanan Diana saat masih dalam
ruangannya tadi. Ia memberi kode agar Suko membuatkan secangkir lagi untuk
pelamar kerja ini.
“Satu lagi, Bu?” tanya Suko sembari mengernyitkan keningnya.
“Udah sana buat, jangan lama-lama ya, Ko.”
Lagi-lagi suko hanya bisa mengikuti perintah atasannya.
Diana berpikir mungkin Suko bingung karena tak biasanya ia minta
dibuatkan kopi untuk pelamar bahkan di jam-jam seperti ini.
Diana kemudian mengulang lagi pertanyaannya pada pria di hadapannya.
“Saya bingung kalau pulang sekarang,” Jawab pria itu lesu. Sama lesunya
seperti saat wawancara siang tadi.
Notifikasi pesan singkat masuk berbunyi di ponsel Diana, pamannya
mengingatkan bahwa malam ini ada kumpul keluarga dan hanya Diana yang belum
muncul di sana. Sebenarnya Diana masih ingin berbincang-bincang setelah yakin
bahwa pelamar yang satu ini terlihat agak berbeda. Di antara para pelamar hari
ini, sepertinya dia yang termuda dari yang lainnya.
“Maaf, saya harus pulang sekarang. Oh, ya, siapa namanya tadi, Mas?
Mungkin nanti bisa saya review lagi hasil psikotes dan applicant form-nya untuk
jadi bahan pertimbangan,”
“Anugerah Agung, Bu,”
“Ok, Mas Anugerah, saya duluan, ya. Nanti ada office boy saya yang tadi
antar kopi, diminum aja, atau kalau mau teh, silakan. Tapi jangan lama-lama di
sini, ada aturan jam kunjungan di kantor ini.”
Kemudian Diana mengajak pria itu bersalaman untuk yang kedua kali di hari
yang sama. Pertama sebagai salam perkenalan, dan yang kedua sebagai salam
perpisahan. Tangan itu begitu dingin, layaknya seseorang yang mengalami grogi
tingkat tinggi.
Di sepanjang perjalanan pulang, Diana tak bisa menepiskan pikiran tentang
pria muda itu. Namun, rasanya tidak bijak jika ia menerimanya lantaran kasihan.
Terlihat jelas pria itu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Diana menarik napas
dalam-dalam, membiarkan oksigen masuk dan membuat isi kepalanya sedikit lebih
ringan.
*
Dua hari berlalu, Diana pun memutuskan akan menerima Anugerah sebagai
karyawan baru. Bukan karena kasihan, namun nilai-nilai akademisnya patut dipertimbangankan
dan Diana ingin memberikan kesempatan. Sejak pagi hingga sore hari Diana belum
berhasil menghubungi Anugerah, nomornya tidak aktif.
Hingga waktunya pulang kantor, Diana pun memutuskan untuk menghubungi
nomor keluarga yang dicantumkan.
Diana duduk di kursi taman, menimbang-nimbang apakah pantas menghubungi
seseorang menjelang malam seperti ini.
“Nunggu siapa, Bu? Dari tadi kayak gelisah,” Suko seketika muncul tanpa
disadari, seraya membawa nampan berisi 2 cangkir kopi kemudian meletakkannya di
meja.
“Kamu ingat 2 malam lalu saya ngobrol di sini sama pria muda? Dia pelamar
kerja, saya hubungi dia sejak pagi nggak bisa-bisa,”
“Yang mana ya, Bu?”
“Waktu itu saya minta kamu buatkan 1 kopi lagi untuk dia. Tapi akhirnya
saya buru-buru pulang. Ingat?” tanya Diana lagi sambil jari-jarinya menekan
nomor telepon rumah Anugerah.
“Loh, waktu itu Ibu sendiri. Makanya saya bingung kok Ibu minta saya
buatin kopi lagi, padahal kopi yang pertama saja baru saya antar. Saya pikir
Ibu suka kopi buatan saya. Ini makanya saya buatin dua cangkir sekalian, biar
sama kayak kemarin,” seloroh Suko.
Nomor telepon rumah Anugerah yang dihubungi Diana pun akhirnya tersambung.
Terlihat dari gesturnya, Diana meminta Suko untuk meninggalkannya sendiri.
“Selamat malam, benar ini rumah keluarga dari Anugerah Agung?”
“Iya, benar. Maaf dengan siapa?” suara seorang perempuan terdengar dari
ujung sambungan telepon.
“Saya Diana dari PT. Gempita Cahaya, bisa saya disambungkan dengan Mas
Anugerah?”
Belum mendapat jawaban dari perempuan itu, Diana melihat kedatangan
Anugerah yang berjalan pelan ke arahnya, namun Diana tak langsung begitu saja
menutup sambungan teleponnya. Dengan gerakan tangannya ia meminta pria itu
duduk dulu sebelum ia memberi tahu pada keluarga Anugerah bahwa yang dicari
sudah di depan mata.
“Ini yang panggilan kerja dua hari lalu, ya, Bu?”
“Iya, benar. Eh, tapi begini, Mbak …,” Diana berniat ingin menyudahi pembicaraan
mereka, namun perempuan itu menyela kalimatnya.
“Maaf, Bu, adik saya nggak datang memenuhi panggilan, dia kecelakaan saat
mau berangkat interview. Motornya oleng, dia jatuh lalu dilindas truk,
meninggal di tempat.”
Tubuh Diana lemas seketika. Rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Anugerah Agung itu kini ada di depan mata, namun wajahnya tak lagi
menunjukkan kesedihan, ia tersenyum sumringah, bahkan terlihat mengerikan.
“Bagaimana, Bu? Apa saya diterima?”
0 comments:
Posting Komentar