Omah Kebaya 1942
Lampu Neon box bertuliskan Omah Kebaya 1942 yang
terpasang di depan sanggar itu masih menyala, padahal waktu sudah mendekati
tengah malam. Terdengar suara beberapa orang di dalam sana yang saling
bercengkerama sebagai penyemangat kerja.
![]() |
Gambar : https://singgasanaseni.org/karya/1193/ |
Miranti baru saja menutup telepon dan
menuliskan detail pesanan khusus yang baru jasa diinformasikan salah satu
pelanggan setianya pada secarik sticky notes yang kemudian ia tempel di
sebuah styrofoam lembaran di dinding sebelah meja kerjanya.
Perempuan paruh baya itu kemudian menuju ruang
kerja para pegawainya. Ada 5 orang yang sengaja diminta lembur untuk
menyelesaikan pesanan khusus yang sudah masuk dalam target pekerjaan bulan ini.
Seorang anak pejabat BUMN mempercayakan kebaya yang akan ia pakai di acara pernikahannya
beserta seluruh anggota keluarga pada usaha milik Miranti.
Tiga orang sibuk memasang kancing untuk
selusin kebaya penerima tamu berwarna magenta, serta dua orang lagi tak
mengalihkan pandangan dari kristal dan payet premium yang disematkan pada
kebaya pengantin berbahan brukat prancis.
Miranti mengambil duduk di antara mereka,
memastikan yang sedang dikerjakan akan sesuai pesanan. Seperti biasa, Miranti
sering berbagi cerita pada para pekerjaanya saat waktunya senggang. Semua
pengalaman yang sekiranya bisa menambah ilmu tak sungkan ia berikan. Sebagai
seorang pimpinan, Miranti sangat keibuan.
“Rosna,
kamu betah kerja di sini?” tanya Miranti pada salah satu karyawannya yang
paling muda.
“Betah, Bu. Banyak mbak-mbak di sini yang
baik-baik. Apalagi Bu Mir, saya merasa seperti punya ibu kandung,” jawab gadis
itu malu-malu.
Sejak masuk ke Omah Kebaya 1942, Rosna memang
sudah pernah menceritakan pada Miranti bahwa ia seorang anak yatim piatu.
Walaupun Rosna tak punya kemampuan tata busana, tapi Miranti menjadikannya
karyawan atas dasar kemanusiaan.
Miranti mengalihkan pandangan ke beberapa
lemari etalase kaca yang memenuhi ruang kerjanya, di dalamnya tersimpan banyak
kebaya bermacam model yang disewakan. Kemudian matanya tertumbuk pada sebuah
etalase di pojok ruangan yang menyimpan sebuah kebaya yang memiliki nilai
istimewa dalam hidupnya.
Tanpa Miranti sadari, Nining, salah seorang
karyawan senior memperhatikan ke mana pandangan Miranti pergi dan berhenti.
“Kalian tahu nggak kalau kebaya itu pernah
dipakai para tahanan di jaman penjajahan Jepang?”
Semua saling pandang kemudian menggeleng
bersamaan.
“Seragam tahanan di jaman Jepang itu ya
kebaya, untungnya cuma 3 tahun. Kemudian pak Karno mengumumkan proklamasi,
kebaya jadi naik kelas, semua istri Menteri dan pejabat diwajibkan pakai kebaya
untuk pertemuan-pertemuan penting kenegaraan dan berlangsung sampai sekarang.
Jadi, kebaya itu bukan sekedar pakaian nusantara, ada sejarahnya di balik itu
semua.”
“Walah, saya baru tahu, Bu Mir. Padahal saya
sekolah sampai lulus SMA, kok sejarah kayak gitu aja sampai nggak tahu,”
celetuk Rosna.
“Ada banyak hal tentang sejarah yang nggak
cuma ada dalam buku. Kita bisa belajar dari keluarga, teman-teman, bahkan dari
orang yang nggak kita kenal sebelumnya.”
“He … he … Nggih, Bu,”
“Bu, sudah malam. Ndak istirahat?” Nining
mengingatkan.
“Oh, iya. Sudah jam setengan satu, saya pulang
dulu, ya. Kalian juga boleh pulang dulu.”
“Nggih, Bu,” jawab mereka serempak.
“Hampir lupa, lusa waktunya sanggar tutup, ya.
Kalau ada yang masih perlu dikerjakan, boleh dikerjakan di rumah saja. Saya
juga sudah memasang informasi di website kita, supaya pelanggan nggak datang ke
sini. Yang mau ambil pesanan bisa besok atau setelah lusa.” Pungkas Miranti
menutup pertemuan mereka malam ini.
*
Tiga hari berturut-turut Miranti mendapatkan
pesan singkat dari Rosna bahwa gadis itu ijin tidak bisa datang ke sanggar
karena demam tinggi. Miranti sudah mentransfer sejumlah uang untuknya berobat,
namun Rosna tak kunjung sembuh.
“Wingi kan aku WA ke Rosa, tak tanya
keluhannya apa, aku ada simpanan jamu di rumah, barangkali bisa sembuh pakai
itu, dia cuma bilang badannya berat, kepalanya sakit, jadi nggak bisa bangun
dari tempat tidur.”
“Terus?”
“Ya, saya tanya lagi, apa habis dolan atau
apa? Katanya gejalanya itu pas sanggar tutup kemarin,”
“Loh, dia ngapain?”
“Mboten ngertos, Bu,” jawab Widya.
Miranti memijat keningnya beberapa kali. Widya
bisa melihat sikap Miranti tidak seperti biasanya, ada kecemasan tertangkap
dalam matanya.
“Maaf sebelumnya nggih, Bu. Apa Ibu ingat ada
karyawan yang namanya Dian sama Meti?”
“Yang sakitnya berbarengan itu, ya? Bagaimana
kabarnya sekarang?”
“Sudah nggak pernah dengar lagi, Bu, Kayaknya
ganti nomor. Tapi mereka itu sakit waktu habis mau ambil barang di sanggar.
Mereka sudah sampai gerbang, nggak punya kunci. Mereka lihat ada mobil Ibu di
dalam, mereka pencet-pencet bel tapi Ibu ndak bukakan pintu,”
“Saya nggak tahu, tapi saya kan sudah bilang
kalau libur nggak usah ke sanggar. Ngeyel banget. Ya sudah biar aja. Kita
tunggu saja sampai Rosna kembali masuk. Lalu tolong kabari teman-teman yang
lain, saya ada rencana untuk mengadakan peragaan busana untuk kebaya-kebaya di
sanggar. Saya mungkin akan jarang datang karena harus cari beberapa sponsor
acara.”
Widya mengangguk walaupun sedikit bingung.
Tidak pernah ada wacana semacam ini sebelumnya. Tapi sebagai karyawan, ia tak
terlalu ingin banyak bertanya.
*
Persiapan menjelang peragaan busana semakin
dekat, semua karyawan kerja sedikit lebih berat dari biasanya. Semua kebaya
yang ada dikeluarkan dari lemari-lemari kaca. Beberapa model bolak balik datang
ke sanggar untuk fitting kebaya. Semua beraktivitas seakan tanpa jeda.
Miranti membisikkan sesuatu pada Nining, ia
mengajak perempuan yang usianya tak terlalu berbeda jauh dengannya itu ke ruang
kerja pribadinya. Mereka bicara empat mata.
“Ning, kebaya simbah disemprot pewangi saja.”
“Nggih. Anu, ngapunten nggih, Bu. Kemarin saya
dapat kabar, Rosna tindak, Bu.”
Miranti menarik napas panjang kemudian
mengembuskannya kembali dengan cepat.
“Kita terlambat, Ning. Kita terlalu sibuk sama
pesanan lain,”
Nining tidak menjawab, darahnya berdesir, rasa
takut kejadian semacam itu akan terus berulang.
*
Hari yang ditunggu pun tiba. Para karyawati
sanggar yang didapuk sebagai panitia mengenakan kebaya jahitan tangan mereka
sendiri. Para model pun dengan elegan melakukan tugas mereka di catwalk
sebagaimana mestinya. Mereka melenggak lenggok cantik dengan kebaya-kebaya
terbaik yang sanggar punya. Pihak sponsor merasa puas dengan acara ini, bahkan
tak jarang dari mereka menginginkan acara semacam ini sering diadakan sebulan
sekali. Semua berjalan sesuai harapan. Namun di antara semua yang terlihat
sempurna, ada satu yang paling menarik perhatian. Sebuah kebaya putih lusuh
yang dipasang pada sebuah mannequin yang ada di sudut panggung. Kebaya itu
penuh bekas bercak darah yang sudah menghitam di beberapa sisinya. Rata-rata
semua dari mereka mengira itu hanya gimmick yang dibuat piha Omah Kebaya 1942.
Tiba di penutup acara, Miranti berjalan di
catwalk bersama model-model yang ia sewa. Memberikan sepatah – dua patah kata
pada tamu-tamu undangannya.
“Terima kasih atas kedatangannya untuk para
tamu undangan, terimakasih dukungan dari para sponsor, juga rekan-rekan model
yang bersedia memperagakan kebaya-kebaya rancangan saya dan hasil jahitan para
tim Omah Kebaya 1942. Mungkin kebaya putih di ujung sana menarik perhatian para
tamu undangan sekalian. Saya masu sedikit bercerita,”
Miranti menarik napas sebelum memulai
ceritanya.
“Kebaya itu sudah ada sejak tahun 1942, keberadaannya
adalah satu bukti sejarah bahwa kebaya pernah dijadikan seragam untuk para
wanita Indonesia yang menjadi tahanan Jepang di bumi pertiwi. Pemilik kebaya
itu adalah nenek saya, atau biasa kami sebut simbah. Ibu saya tidak punya foto simbah,
hanya kebaya itu sebagai obat rindunya. Dan kebaya itu merupakan alasan utama
saya menjalankan bisnis kebaya ini. Saya ingin merasakan simbah itu tetap ada
di kehidupan kami, karena simbah berjasa untuk kami dan negeri ini. Saya ingin
kita selalu ingat kebaya bukan sekedar cantik dan Indah tapi ia juga punya
sejarah berdarah di masa lalu. Akhir kata saya ucapkan terima kasih atas
kedatangannya.” Tutup Miranti sambil melirik ke pojok ruangan, ada beberapa
tamu istimewa yang hadir di sana, Rosna, Dian, Meti dan Simbahnya.
--- Selesai ---
0 comments:
Posting Komentar