Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Sabtu, 03 Desember 2022

Omah Kebaya 1942


 

Lampu Neon box bertuliskan Omah Kebaya 1942 yang terpasang di depan sanggar itu masih menyala, padahal waktu sudah mendekati tengah malam. Terdengar suara beberapa orang di dalam sana yang saling bercengkerama sebagai penyemangat kerja.


Gambar : https://singgasanaseni.org/karya/1193/


Miranti baru saja menutup telepon dan menuliskan detail pesanan khusus yang baru jasa diinformasikan salah satu pelanggan setianya pada secarik sticky notes yang kemudian ia tempel di sebuah styrofoam lembaran di dinding sebelah meja kerjanya.

Perempuan paruh baya itu kemudian menuju ruang kerja para pegawainya. Ada 5 orang yang sengaja diminta lembur untuk menyelesaikan pesanan khusus yang sudah masuk dalam target pekerjaan bulan ini. Seorang anak pejabat BUMN mempercayakan kebaya yang akan ia pakai di acara pernikahannya beserta seluruh anggota keluarga pada usaha milik Miranti.

Tiga orang sibuk memasang kancing untuk selusin kebaya penerima tamu berwarna magenta, serta dua orang lagi tak mengalihkan pandangan dari kristal dan payet premium yang disematkan pada kebaya pengantin berbahan brukat prancis.

Miranti mengambil duduk di antara mereka, memastikan yang sedang dikerjakan akan sesuai pesanan. Seperti biasa, Miranti sering berbagi cerita pada para pekerjaanya saat waktunya senggang. Semua pengalaman yang sekiranya bisa menambah ilmu tak sungkan ia berikan. Sebagai seorang pimpinan, Miranti sangat keibuan.

 “Rosna, kamu betah kerja di sini?” tanya Miranti pada salah satu karyawannya yang paling muda.

“Betah, Bu. Banyak mbak-mbak di sini yang baik-baik. Apalagi Bu Mir, saya merasa seperti punya ibu kandung,” jawab gadis itu malu-malu.

Sejak masuk ke Omah Kebaya 1942, Rosna memang sudah pernah menceritakan pada Miranti bahwa ia seorang anak yatim piatu. Walaupun Rosna tak punya kemampuan tata busana, tapi Miranti menjadikannya karyawan atas dasar kemanusiaan.

Miranti mengalihkan pandangan ke beberapa lemari etalase kaca yang memenuhi ruang kerjanya, di dalamnya tersimpan banyak kebaya bermacam model yang disewakan. Kemudian matanya tertumbuk pada sebuah etalase di pojok ruangan yang menyimpan sebuah kebaya yang memiliki nilai istimewa dalam hidupnya.

Tanpa Miranti sadari, Nining, salah seorang karyawan senior memperhatikan ke mana pandangan Miranti pergi dan berhenti.

“Kalian tahu nggak kalau kebaya itu pernah dipakai para tahanan di jaman penjajahan Jepang?”

Semua saling pandang kemudian menggeleng bersamaan.

“Seragam tahanan di jaman Jepang itu ya kebaya, untungnya cuma 3 tahun. Kemudian pak Karno mengumumkan proklamasi, kebaya jadi naik kelas, semua istri Menteri dan pejabat diwajibkan pakai kebaya untuk pertemuan-pertemuan penting kenegaraan dan berlangsung sampai sekarang. Jadi, kebaya itu bukan sekedar pakaian nusantara, ada sejarahnya di balik itu semua.”

“Walah, saya baru tahu, Bu Mir. Padahal saya sekolah sampai lulus SMA, kok sejarah kayak gitu aja sampai nggak tahu,” celetuk Rosna.

“Ada banyak hal tentang sejarah yang nggak cuma ada dalam buku. Kita bisa belajar dari keluarga, teman-teman, bahkan dari orang yang nggak kita kenal sebelumnya.”

“He … he … Nggih, Bu,”

“Bu, sudah malam. Ndak istirahat?” Nining mengingatkan.

“Oh, iya. Sudah jam setengan satu, saya pulang dulu, ya. Kalian juga boleh pulang dulu.”

“Nggih, Bu,” jawab mereka serempak.

“Hampir lupa, lusa waktunya sanggar tutup, ya. Kalau ada yang masih perlu dikerjakan, boleh dikerjakan di rumah saja. Saya juga sudah memasang informasi di website kita, supaya pelanggan nggak datang ke sini. Yang mau ambil pesanan bisa besok atau setelah lusa.” Pungkas Miranti menutup pertemuan mereka malam ini.

*

Tiga hari berturut-turut Miranti mendapatkan pesan singkat dari Rosna bahwa gadis itu ijin tidak bisa datang ke sanggar karena demam tinggi. Miranti sudah mentransfer sejumlah uang untuknya berobat, namun Rosna tak kunjung sembuh.

“Wingi kan aku WA ke Rosa, tak tanya keluhannya apa, aku ada simpanan jamu di rumah, barangkali bisa sembuh pakai itu, dia cuma bilang badannya berat, kepalanya sakit, jadi nggak bisa bangun dari tempat tidur.”

“Terus?”

“Ya, saya tanya lagi, apa habis dolan atau apa? Katanya gejalanya itu pas sanggar tutup kemarin,”

“Loh, dia ngapain?”

“Mboten ngertos, Bu,” jawab Widya.

Miranti memijat keningnya beberapa kali. Widya bisa melihat sikap Miranti tidak seperti biasanya, ada kecemasan tertangkap dalam matanya.

“Maaf sebelumnya nggih, Bu. Apa Ibu ingat ada karyawan yang namanya Dian sama Meti?”

“Yang sakitnya berbarengan itu, ya? Bagaimana kabarnya sekarang?”

“Sudah nggak pernah dengar lagi, Bu, Kayaknya ganti nomor. Tapi mereka itu sakit waktu habis mau ambil barang di sanggar. Mereka sudah sampai gerbang, nggak punya kunci. Mereka lihat ada mobil Ibu di dalam, mereka pencet-pencet bel tapi Ibu ndak bukakan pintu,”

“Saya nggak tahu, tapi saya kan sudah bilang kalau libur nggak usah ke sanggar. Ngeyel banget. Ya sudah biar aja. Kita tunggu saja sampai Rosna kembali masuk. Lalu tolong kabari teman-teman yang lain, saya ada rencana untuk mengadakan peragaan busana untuk kebaya-kebaya di sanggar. Saya mungkin akan jarang datang karena harus cari beberapa sponsor acara.”

Widya mengangguk walaupun sedikit bingung. Tidak pernah ada wacana semacam ini sebelumnya. Tapi sebagai karyawan, ia tak terlalu ingin banyak bertanya.

 *

Persiapan menjelang peragaan busana semakin dekat, semua karyawan kerja sedikit lebih berat dari biasanya. Semua kebaya yang ada dikeluarkan dari lemari-lemari kaca. Beberapa model bolak balik datang ke sanggar untuk fitting kebaya. Semua beraktivitas seakan tanpa jeda.

Miranti membisikkan sesuatu pada Nining, ia mengajak perempuan yang usianya tak terlalu berbeda jauh dengannya itu ke ruang kerja pribadinya. Mereka bicara empat mata.

“Ning, kebaya simbah disemprot pewangi saja.”

“Nggih. Anu, ngapunten nggih, Bu. Kemarin saya dapat kabar, Rosna tindak, Bu.”

Miranti menarik napas panjang kemudian mengembuskannya kembali dengan cepat.

“Kita terlambat, Ning. Kita terlalu sibuk sama pesanan lain,”

Nining tidak menjawab, darahnya berdesir, rasa takut kejadian semacam itu akan terus berulang.

*

Hari yang ditunggu pun tiba. Para karyawati sanggar yang didapuk sebagai panitia mengenakan kebaya jahitan tangan mereka sendiri. Para model pun dengan elegan melakukan tugas mereka di catwalk sebagaimana mestinya. Mereka melenggak lenggok cantik dengan kebaya-kebaya terbaik yang sanggar punya. Pihak sponsor merasa puas dengan acara ini, bahkan tak jarang dari mereka menginginkan acara semacam ini sering diadakan sebulan sekali. Semua berjalan sesuai harapan. Namun di antara semua yang terlihat sempurna, ada satu yang paling menarik perhatian. Sebuah kebaya putih lusuh yang dipasang pada sebuah mannequin yang ada di sudut panggung. Kebaya itu penuh bekas bercak darah yang sudah menghitam di beberapa sisinya. Rata-rata semua dari mereka mengira itu hanya gimmick yang dibuat piha Omah Kebaya 1942.

Tiba di penutup acara, Miranti berjalan di catwalk bersama model-model yang ia sewa. Memberikan sepatah – dua patah kata pada tamu-tamu undangannya.

“Terima kasih atas kedatangannya untuk para tamu undangan, terimakasih dukungan dari para sponsor, juga rekan-rekan model yang bersedia memperagakan kebaya-kebaya rancangan saya dan hasil jahitan para tim Omah Kebaya 1942. Mungkin kebaya putih di ujung sana menarik perhatian para tamu undangan sekalian. Saya masu sedikit bercerita,”

Miranti menarik napas sebelum memulai ceritanya.

“Kebaya itu sudah ada sejak tahun 1942, keberadaannya adalah satu bukti sejarah bahwa kebaya pernah dijadikan seragam untuk para wanita Indonesia yang menjadi tahanan Jepang di bumi pertiwi. Pemilik kebaya itu adalah nenek saya, atau biasa kami sebut simbah. Ibu saya tidak punya foto simbah, hanya kebaya itu sebagai obat rindunya. Dan kebaya itu merupakan alasan utama saya menjalankan bisnis kebaya ini. Saya ingin merasakan simbah itu tetap ada di kehidupan kami, karena simbah berjasa untuk kami dan negeri ini. Saya ingin kita selalu ingat kebaya bukan sekedar cantik dan Indah tapi ia juga punya sejarah berdarah di masa lalu. Akhir kata saya ucapkan terima kasih atas kedatangannya.” Tutup Miranti sambil melirik ke pojok ruangan, ada beberapa tamu istimewa yang hadir di sana, Rosna, Dian, Meti dan Simbahnya.


--- Selesai ---

0 comments:

Posting Komentar