Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Sabtu, 03 Desember 2022

Mukena Mendiang Anak Pak Kyai


 

Pic : Google

Libur panjang telah tiba. Wiyoko bersama anak dan istrinya akan menghabiskan liburan di

rumah warisan mendiang mertuanya. Setelah kedua orang tua istrinya meninggal dunia, rumah itu dibiarkan kosong walaupun mereka membayar orang untuk mengurusnya.

 

*

Rumah warisan orang tua Nuning ukurannya lebih besar dari rumah pribadi mereka di Jakarta. Pekarangannya luas, ada pohon beringin di halaman samping yang akarnya sudah kemana-mana. Sesekali Gina bergidik melihatnya, teringat cerita-cerita horor khas anak sekolah tentang kuntilanak yang mendiami pohon besar dan akan tertawa kencang di tiap malam.

 

Suasana pedesaan memang terasa jauh lebih menenangkan, suara adzan Maghrib terdengar lebih syahdu dari pada di kota.

 

“Gina, sholat dulu, Nak?” ajak Wiyoko.

Remaja itu hanya menggeleng sambil terus menatap layar ponselnya.

“Sholat itu kewajiban, lho. Kamu sudah mau 17 tahun masa sholatnya masih bolong-bolong?”

Gina tetap cuek menanggapi titah Sang Ayah.

Nuning yang melihat kondisi semacam ini berulang kali memberi kode pada suaminya untuk tidak terus memaksa.

 

*

Waktu menunjukkan setengah delapan malam, suasana sekitar sudah serupa kota mati, gelap dan sepi. Setelah makan malam, Nuning dan suaminya langsung masuk kamar, selain lelah, udara dingin membuat rasa kantuk makin tak tertahankan. Tinggallah Gina yang masih terjaga. Remaja itu tak bisa memejamkan mata karena suara jangkrik yang bersautan mengganggu indera pendengaran.

Gina memberanikan diri duduk di teras depan walaupun udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Penerangan dari lampu jalan yang ala kadarnya membuatnya sulit menikmati pemandangan desa ini saat malam hari. Tak ada keindahan, yang ada justru suasana yang mencekam. Sampai akhirnya pandangannya terhenti pada sosok putih yang bergerak perlahan lalu berhenti seakan mengamati Gina dari kejauhan. Rasa takut mulai menguasai diri saat sosok itu melambaikan tangannya. Sontak Gina buru-buru masuk ke rumah dan menutup pintu dengan kencang.

Nuning dan Wiyoko terkejut mendengar suara bantingan pintu, keduanya bergegas mencari tahu.

 

Gina menangis sesenggukan, tubuhnya dingin layaknya orang yang habis bertemu setan.

“Ibu, aku mau pulang!” isak Gina seraya memeluk ibunya erat-erat.

“Gina kenapa?”

“Tadi aku lihat ada pocong, dia dadah-dadah ke aku. Aku mau pulang, Bu!”

 

Nuning coba menenangkan Gina, ia meminta anaknya menepiskan b

 

*

 

Sinar matahari masuk melalui celah-celah ventilasi. Silaunya cukup mengganggu mereka yang masih ingin tertidur lelap.

Suwardi, orang yang dipercaya untuk mengurus rumah itu datang pagi ini, mengabarkan bahwa ada salah seorang tetangga yang meninggal dunia semalam. Gina yang mendengar berita itu langsung berkomentar.

“Berarti yang semalam aku lihat itu dia, Bu!”

“Husst, nggak boleh suudzon. Belum tentu yang kamu lihat itu orang,”

“Ya jelas bukan orang dong, Bu. Tapi udah jadi set …,”

Nuning cepat-cepat menutup mulut Gina dengan telapak tangannya.

 

*

Hari kembali malam, Nuning dan Wiyoko sengaja tak tidur cepat seperti hari sebelumnya. Ketiganya berkumpul di ruang tengah sambil bercerita tentang masa kecil Nuning di desa ini. Gina begitu bersemangat mendengarkan kisah ibunya yang juga anak semata wayang, sama seperti dirinya.

 

“Ada cerita horor nggak waktu ibu kecil?” tanya Gina.

“Horor? Kamu berani dengarnya? Nanti nangis lagi,” ledek ibunya.

“Kan cuma cerita, berani lah. Ayo, Bu!”

Nuning diam beberapa saat, mencoba mengingat-ingat kisah horor di desa ini.

“Jadi begini, dulu ada sebuah rumah yang dihuni seorang Kyai beserta keluarganya. Sebagai seorang Kyai, beliau selalu mengingatkan anaknya untuk sholat, bahkan sampai membelikan mukenna yang sangat bagus dengan harga yang cukup mahal. Namun, anaknya tetap melawan. Sampai akhirnya anak Pak Kyai itu meninggal dunia. Setelah kematian anaknya, Pak Kyai sering sakit-sakitan, merasa bersalah karena tidak memaksa anaknya untuk beribadah sampai ajal menjemputnya.”

“Terus, Bu?” tanya Wiyoko yang baru kali ini juga mendengar kisah itu dari istrinya.

“Istri Pak Kyai pun memutuskan untuk pindah ke desa lain, agar suaminya tidak terus merasa bersalah. Semua barang-barang mendiang anaknya dibiarkan tetap di sana, termasuk mukenna yang belum pernah terpakai itu. Rumah itu pun ditinggalkan begitu saja. Sampai pada suatu hari ada seorang tetangga yang tanpa sengaja melihat dari jendela, mukena itu bergerak seperti ada yang memakainya. Gerakannya seperti orang yang sedang sholat, tetangga itu pun mencoba mendekat, yang terdengar hanya suara tangisan bukan lafal bacaan sholat. Kabar itu sampai juga pada pak Kyai dan istrinya. Itu diduga adalah arwah anaknya yang tidak tenang karena selama hidup sering meninggalkan sholat. Namun Pak Kyai tak dapat berbuat apa-apa. Ia sudah berkali-kali mengingatkan, namun si anak tetap mengabaikan.” Nuning menutup ceritanya.

 

“Rumahnya masih ada, Bu? Aku mau lihat,” tanya Gina.

“Hmmm … boleh. Besok pagi kita ke sana.”

 

*

Keesokan paginya setelah pulang dari pasar, Nuning memenuhi janji pada putrinya. Mereka berdua berjalan menuju rumah yang diceritakannya semalam. 

 

Rumah kosong itu terlihat sangat tak terawat. Pintunya pun dalam keadaan terbuka. Jelas terlihat Pak Kyai dan istrinya memang sudah tak lagi mempedulikannya. Nuning mengajak anaknya mengintip kamar tempat mukenna itu berada.

“Itu kamarnya, Nak. Coba lihat, ada mukenna nggak di dalamnya?”

 

Gina mengintip jendela tanpa gorden itu dengan sedikit takut, dan benar saja, ada mukenna yang terlipat ala kadarnya di dalam sana. Bulu kuduk Gina meremang. Cepat-cepat ia mengajak ibunya pulang.

Di sepanjang perjalanan pulang, Gina kembali berpikir tentang sosok yang melambaikan tangan di malam pertama mereka di sini. Mungkinkah itu arwah anak Pak Kyai yang tengah meminta tolong?

 

Sampai di rumah, Nuning langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Sementara Gina tak banyak bicara.

“Nanti kalau aku nggak dengar adzan tolong diingetin ya, Ayah,” Seketika Wiyoko takjub mendengar permintaan anaknya lalu cepat-cepat menuju dapur menemui istrinya.

 

“Kayaknya berhasil, Bu. Kamu memang hebat.

“Ternyata aku jago juga ya mengarang bebas.”

 

 

Sebelumnya

 

“Gina belum bangun kan, Pak?”

“Belum, Ibu dari mana?”

“Subuhan di Masjid terus ke rumah Suwardi, minta dia taruh mukenna lamaku di meja rumah kosong yang ada di belakang biar ceritaku semalam meyakinkan anak kita. Kan agak siangan nanti aku janji mau tunjukkan mukenna yang bisa sholat sendiri itu. Oh, ya, soal sosok putih yang dilihat Gina, itu Mbok Sri, ibunya Suwardi. Malam itu Mbok Sri baru pulang sholat Isya di Masjid, kebiasaan ibu-ibu di sini, sholat lima waktu selalu berjamaah di sana. Mukenna selalu dipakai saat berangkat sampai dengan pulang. Mungkin karena gelap, wajahnya jadi nggak kelihatan. Dia bingung kok Gina lari pas dia lambaikan tangan,”

 

Wiyoko menahan tawa mendengar ide brilian istrinya agar anak mereka paham kewajiban sholat, walaupun cara yang ditempuh sedikit konyol apalagi jika Gina tahu bahwa ini hanya akal-akalan ibunya.

 

 

 --------------------------- Selesai ----------------------------

 

0 comments:

Posting Komentar