Mukena Mendiang Anak Pak Kyai
![]() |
Pic : Google |
Libur panjang telah tiba. Wiyoko bersama anak dan istrinya akan
menghabiskan liburan di
rumah warisan mendiang mertuanya. Setelah kedua orang tua istrinya meninggal
dunia, rumah itu dibiarkan kosong walaupun mereka membayar orang untuk mengurusnya.
*
Rumah warisan orang tua Nuning ukurannya lebih besar dari rumah pribadi
mereka di Jakarta. Pekarangannya luas, ada pohon beringin di halaman samping
yang akarnya sudah kemana-mana. Sesekali Gina bergidik melihatnya, teringat
cerita-cerita horor khas anak sekolah tentang kuntilanak yang mendiami pohon
besar dan akan tertawa kencang di tiap malam.
Suasana pedesaan memang terasa jauh lebih menenangkan, suara adzan
Maghrib terdengar lebih syahdu dari pada di kota.
“Gina, sholat dulu, Nak?” ajak Wiyoko.
Remaja itu hanya menggeleng sambil terus menatap layar ponselnya.
“Sholat itu kewajiban, lho. Kamu sudah mau 17 tahun masa sholatnya masih
bolong-bolong?”
Gina tetap cuek menanggapi titah Sang Ayah.
Nuning yang melihat kondisi semacam ini berulang kali memberi kode pada
suaminya untuk tidak terus memaksa.
*
Waktu menunjukkan setengah delapan malam, suasana sekitar sudah serupa
kota mati, gelap dan sepi. Setelah makan malam, Nuning dan suaminya langsung
masuk kamar, selain lelah, udara dingin membuat rasa kantuk makin tak
tertahankan. Tinggallah Gina yang masih terjaga. Remaja itu tak bisa memejamkan
mata karena suara jangkrik yang bersautan mengganggu indera pendengaran.
Gina memberanikan diri duduk di teras depan walaupun udara dingin terasa
menusuk hingga ke tulang. Penerangan dari lampu jalan yang ala kadarnya
membuatnya sulit menikmati pemandangan desa ini saat malam hari. Tak ada
keindahan, yang ada justru suasana yang mencekam. Sampai akhirnya pandangannya terhenti
pada sosok putih yang bergerak perlahan lalu berhenti seakan mengamati Gina
dari kejauhan. Rasa takut mulai menguasai diri saat sosok itu melambaikan
tangannya. Sontak Gina buru-buru masuk ke rumah dan menutup pintu dengan
kencang.
Nuning dan Wiyoko terkejut mendengar suara bantingan pintu, keduanya
bergegas mencari tahu.
Gina menangis sesenggukan, tubuhnya dingin layaknya orang yang habis
bertemu setan.
“Ibu, aku mau pulang!” isak Gina seraya memeluk ibunya erat-erat.
“Gina kenapa?”
“Tadi aku lihat ada pocong, dia dadah-dadah ke aku. Aku mau pulang, Bu!”
Nuning coba menenangkan Gina, ia meminta anaknya menepiskan b
*
Sinar matahari masuk melalui celah-celah ventilasi. Silaunya cukup
mengganggu mereka yang masih ingin tertidur lelap.
Suwardi, orang yang dipercaya untuk mengurus rumah itu datang pagi ini, mengabarkan
bahwa ada salah seorang tetangga yang meninggal dunia semalam. Gina yang
mendengar berita itu langsung berkomentar.
“Berarti yang semalam aku lihat itu dia, Bu!”
“Husst, nggak boleh suudzon. Belum tentu yang kamu lihat itu orang,”
“Ya jelas bukan orang dong, Bu. Tapi udah jadi set …,”
Nuning cepat-cepat menutup mulut Gina dengan telapak tangannya.
*
Hari kembali malam, Nuning dan Wiyoko sengaja tak tidur cepat seperti
hari sebelumnya. Ketiganya berkumpul di ruang tengah sambil bercerita tentang
masa kecil Nuning di desa ini. Gina begitu bersemangat mendengarkan kisah
ibunya yang juga anak semata wayang, sama seperti dirinya.
“Ada cerita horor nggak waktu ibu kecil?” tanya Gina.
“Horor? Kamu berani dengarnya? Nanti nangis lagi,” ledek ibunya.
“Kan cuma cerita, berani lah. Ayo, Bu!”
Nuning diam beberapa saat, mencoba mengingat-ingat kisah horor di desa
ini.
“Jadi begini, dulu ada sebuah rumah yang dihuni seorang Kyai beserta
keluarganya. Sebagai seorang Kyai, beliau selalu mengingatkan anaknya untuk
sholat, bahkan sampai membelikan mukenna yang sangat bagus dengan harga yang
cukup mahal. Namun, anaknya tetap melawan. Sampai akhirnya anak Pak Kyai itu
meninggal dunia. Setelah kematian anaknya, Pak Kyai sering sakit-sakitan, merasa
bersalah karena tidak memaksa anaknya untuk beribadah sampai ajal menjemputnya.”
“Terus, Bu?” tanya Wiyoko yang baru kali ini juga mendengar kisah itu
dari istrinya.
“Istri Pak Kyai pun memutuskan untuk pindah ke desa lain, agar suaminya
tidak terus merasa bersalah. Semua barang-barang mendiang anaknya dibiarkan tetap
di sana, termasuk mukenna yang belum pernah terpakai itu. Rumah itu pun
ditinggalkan begitu saja. Sampai pada suatu hari ada seorang tetangga yang
tanpa sengaja melihat dari jendela, mukena itu bergerak seperti ada yang
memakainya. Gerakannya seperti orang yang sedang sholat, tetangga itu pun
mencoba mendekat, yang terdengar hanya suara tangisan bukan lafal bacaan
sholat. Kabar itu sampai juga pada pak Kyai dan istrinya. Itu diduga adalah arwah
anaknya yang tidak tenang karena selama hidup sering meninggalkan sholat. Namun
Pak Kyai tak dapat berbuat apa-apa. Ia sudah berkali-kali mengingatkan, namun
si anak tetap mengabaikan.” Nuning menutup ceritanya.
“Rumahnya masih ada, Bu? Aku mau lihat,” tanya Gina.
“Hmmm … boleh. Besok pagi kita ke sana.”
*
Keesokan paginya setelah pulang dari pasar, Nuning memenuhi janji pada
putrinya. Mereka berdua berjalan menuju rumah yang diceritakannya semalam.
Rumah kosong itu terlihat sangat tak terawat. Pintunya pun dalam keadaan
terbuka. Jelas terlihat Pak Kyai dan istrinya memang sudah tak lagi
mempedulikannya. Nuning mengajak anaknya mengintip kamar tempat mukenna itu
berada.
“Itu kamarnya, Nak. Coba lihat, ada mukenna nggak di dalamnya?”
Gina mengintip jendela tanpa gorden itu dengan sedikit takut, dan benar
saja, ada mukenna yang terlipat ala kadarnya di dalam sana. Bulu kuduk Gina
meremang. Cepat-cepat ia mengajak ibunya pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, Gina kembali berpikir tentang sosok yang
melambaikan tangan di malam pertama mereka di sini. Mungkinkah itu arwah anak
Pak Kyai yang tengah meminta tolong?
Sampai di rumah, Nuning langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan
siang. Sementara Gina tak banyak bicara.
“Nanti kalau aku nggak dengar adzan tolong diingetin ya, Ayah,” Seketika
Wiyoko takjub mendengar permintaan anaknya lalu cepat-cepat menuju dapur
menemui istrinya.
“Kayaknya berhasil, Bu. Kamu memang hebat.
“Ternyata aku jago juga ya mengarang bebas.”
Sebelumnya
“Gina belum bangun kan, Pak?”
“Belum, Ibu dari mana?”
“Subuhan di Masjid terus ke rumah Suwardi, minta dia taruh mukenna lamaku
di meja rumah kosong yang ada di belakang biar ceritaku semalam meyakinkan anak
kita. Kan agak siangan nanti aku janji mau tunjukkan mukenna yang bisa sholat
sendiri itu. Oh, ya, soal sosok putih yang dilihat Gina, itu Mbok Sri, ibunya
Suwardi. Malam itu Mbok Sri baru pulang sholat Isya di Masjid, kebiasaan
ibu-ibu di sini, sholat lima waktu selalu berjamaah di sana. Mukenna selalu
dipakai saat berangkat sampai dengan pulang. Mungkin karena gelap, wajahnya
jadi nggak kelihatan. Dia bingung kok Gina lari pas dia lambaikan tangan,”
Wiyoko menahan tawa mendengar ide brilian istrinya agar anak mereka paham
kewajiban sholat, walaupun cara yang ditempuh sedikit konyol apalagi jika Gina
tahu bahwa ini hanya akal-akalan ibunya.
--------------------------- Selesai ----------------------------
0 comments:
Posting Komentar