Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Kamis, 29 Desember 2022

Kalender Tahun Baru Dari Taji


 



Hujan masih belum berhenti sejak semalam. Gerobak angkringan yang terparkir di beranda rumah jadi ikut-ikutan basah. Romili, pria muda yang baru saja menikah itu adalah pemiliknya. Walaupun hujan berkepanjangan diprediksi akan terus berlanjut hingga awal tahun, Romili tak khawatir. Angkringannya selalu ramai pembeli. Olahan wedang jahe merahnya sudah dikenal di mana-mana. Bahan bakunya dikirim langsung oleh keluarga besarnya di desa.

 

Pukul 3 sore Romili dan wanita yang baru 3 bulan dinikahinya itu sudah siap mendorong gerobak ke ruko yang mereka sewa di pinggiran jalan utama. Lokasi strategis juga salah satu alasan angkringannya mudah dijangkau. Tarif sewa satu setengah juta per bulan tidak terlalu memberatkan jika dibandingkan dengan omzet angkringan tiap malam.

 

Tepat di seberang ruko, ada lampu merah yang menjadi sumber kemacetan sehari-hari. Namun, hal itu justru menjadi ladang rejeki bagi beberapa pedagang asongan. Salah satunya, Taji. Dua tahun belakangan, anak 8 tahun itu membantu ibunya berjualan. Ia menjajakan tissue yang diambil dari agen besar bersama beberapa anak seusianya yang juga sama-sama menjadi tulang punggung keluarga.

Taji kerap mampir ke warung angkringan milik Romili, membeli nasi untuk dia dan ibunya. Anak laki-laki itu tak pernah mengharapkan nasi gratis, ia selalu membayar dengan harga sama seperti pembeli yang lainnya.

 

“Om Romi, nasi 2, ya.” Ucap Taji seraya menyerahkan dua lembar uang pecahan dua ribu dan 2 keping pecahan seribu rupiah.

 

Romi memperhatikan Raji dari ujung kepala hingga ujung kaki. Raji mengikuti arah pandangan Romili.

 

“Jaman sudah modern begini, masih aja kamu jualan kalender, Ji. Bilang sama ibumu, kreatif sedikit.”

Ucap Romi setelah melihat beberapa gulung kalender yang diselipkan di ketiak kanan Taji.

 

Tiap awal Desember, selain menjual tissue, anak itu juga selalu menjual kalender tahun baru. Benar apa yang Romili bilang, kalender dalam bentuk fisik tak terlalu diperlukan lagi, orang-orang lebih senang melihat tanggal di jam tangan atau ponsel mereka. Namun, Taji tidak berpikir sejauh itu, yang ada di kepalanya hanya bagaimana ia dan Ibunya tetap makan tiap hari untuk melanjutkan hidup.

 

Taji buru-buru pamit dari hadapan Romili, jika ia tak segera pergi, laki-laki itu akan semakin sinis padanya. Lagi pula, ibunya pasti juga sudah lapar, sejak pagi belum ada yang mereka konsumsi selain air putih yang dibawa dari rumah.

 

Pukul 7 malam, angkringan mulai ramai pembeli. Stok nasi kucing bahkan sampai dibuat lebih banyak dari biasanya. Walau sering terlihat kewalahan, namun, Romili dan istri masih belum berpikir akan mencari orang untuk bantu-bantu. Watak Romili ini yang kerap dianggap pelit oleh para tetangga yang awalnya berharap akan diajak bekerja olehnya.

Saat angkringan sedang padat-padatnya, istri Romi melihat kedatangan Taji yang tiba-tiba. Jarang sekali anak itu mampir ke sini malam hari. Rumahnya pun jauh dari lokasi angkringan ini. Taji terlihat memang tak seperti ingin membeli nasi seperti biasanya. Wajahnya kuyu, bibirnya membiru, pakaian yang ia kenakan pun masih sama seperti sore tadi dan sudah basah kuyup.

 

Istri Romi memberi kode pada suaminya, agar cepat-cepat menghampiri Taji.

 

“Ngapain ke sini lagi? Mau beli nasi lagi? Kalender sama tissuemu laku banyak?”

 

“Nggak, Om. Saya mau bantu cuci piring atau bersih-bersih di sini, boleh? Saya butuh uang, ibu sakit,”

 

“Yang butuh uang bukan cuma kamu, saya juga.” Balas Romili sinis.

 

Taji membeku di tempatnya berdiri. Dinginnya malam ini tak lebih dingin dari uacapan Romili barusan. Ada sesak yang memenuhi dada pria kecil itu. Memang seharusnya ia tak datang ke sini. Mengharapkan bantuan datang dari sosok Romili seperti mengharap kalender laku 100 gulungan dalam sehari. Nihil.

 

“Baik, Om. Saya pamit.” Taji membalikkan tubuhnya, berjalan pelan dan hampir putus asa.

 

“Sebentar,” panggil Romi tiba-tiba, kemudian mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu dari saku celananya.

 

“Ambil ini, bawa Ibumu besok ke puskesmas. Jangan lama-lama di sini, nggak enak kalo pembeli di sini lihat. Pengamen saja saya larang masuk, apalagi …,” Romili tak melanjutkan kalimatnya, ia melihat ada beberapa motor baru datang. Itu jauh lebih penting ketimbang menghardik anak kecil ini terus-terusan.

Taji menggenggam uang dari Romili, air matanya benar-benar tumpah kali ini. Perasaannya tak karuan. Antara malu, sedih karena merasa dikucilkan, namun tetap ingin berterimakasih atas bantuan yang diberikan.

 

*

 

Seminggu berlalu, Romili baru melihat lagi Taji di lampu merah. Tangan kanannya menjinjing kalender yang terbuka, mendekati mobil-mobil yang terpaksa berhenti karena macet luar biasa, sementara tangan kirinya menggenggam kalender yang tergulung. Anak laki-laki itu terlihat sesekali ngobrol dan bercanda dengan teman-temannya yang juga berjualan di sana. Mereka berusaha menikmati kesulitan yang tengah mereka jalani, membawanya ke situasi yang lebih menyenangkan.

 

Pukul lima sore, Taji mendatangi angkringan Romili, memesan sebungkus nasi dan mengeluarkan uang recehan dari dalam kantong plastik hitam. Ia menghitung uang itu pelan-pelan di hadapan Romili.

 

“Om, 103 ribu, ya.”

 

“Apa itu? Oh, mau bayar hutang ceritanya? Udah kaya, ya, sekarang?” Romili kembali menyindir lagi.

Taji menggeleng lemah.

 

“Sini, deh. Alhamdulillah kalau bisa kembalikan uang dari saya kemarin,” Romili mengambil uang dari tangan Taji.

 

“Iya, Om. Terima kasih bantuannya. Kemarin setelah dapat uang dari Om Romi, saya langsung bawa ibu ke rumah sakit,”

 

“Oh, terus kok beli nasinya cuma 1? Ibumu sudah sehat?”

 

“Ibu sudah nggak ada, Om. Untung ada uang dari Om Romi, jadi Ibu meninggalnya di rumah sakit, jenazahnya diurus pihak sana, kalau Ibu masih di rumah, saya pasti bingung gimana pemakamannya. Ini uang dari para pelayat saya sisihkan untuk membayar hutang ke om Romi, sisanya untuk membuat nisan Ibu.”

 

Seketika lidah Romi kelu, ia tak tahu harus berkata-kata seperti apa menanggapi kabar duka yang baru diceritakan anak kecil di hadapannya saat ini. Bergegas Romi meninggalkan Taji sendiri, masuk ke kamar mandi ruko dan menangis sejadi-jadinya, bahkan ia tak peduli dengan pembeli yang mungkin mendengar suara tangisannya. Istrinya bingung melihat sikap Romi hari ini. Ia menunggu suaminya menyelesaikan luapan emosinya.

 

“Ada apa?” tanya istrinya lembut.

 

“Ibunya Taji meninggal,”

 

“Innalillahi wa innailaihi rojiun, sakit?”

 

Romi mengangguk pelan.

 

“Bukannya Mas nggak suka sama anak itu?” selidik Sang Istri.

 

Romili menarik napas panjang, bersiap untuk mulai menceritakan sebuah kisah kelam yang pernah terjadi padanya belasan tahun silam.

Romili lahir dari keluarga yang tak utuh, sejak kecil, ia tak pernah mengenal ayahnya. Ia dan ibunya menumpang hidup pada sang nenek. Saat Romili usia 9 tahun, ia sudah mulai berjualan di pasar. Neneknya membuat cucur dan Romi yang menjajakannya. Sementara Ibunya justru berkelana dengan banyak laki-laki. Dan sampai detik ini, Romili tak pernah lagi bertemu dengan ibunya. Masih hidup atau sudah meninggal dunia, Romi tak tahu lagi keadaannya. Sikap keras Romi bukan karena ia benci pada Taji. Namun, ia ingin Taji tumbuh menjadi pria kuat dan berani. Malam itu Romi memberikan uang pada Taji dan meminta anak laki-laki itu cepat pergi dari angkringannya karena ia tak mau Taji lama-lama di jalan dengan posisi baju basah dan kedinginan. Bukan karena Taji nampak seperti gelandangan.

Istri Romi mengelus punggung suaminya perlahan. Sesak itu sampai pula di hatinya. Ia seperti tengah berhadapan dengan pria yang berbeda dari sebelumnya.

Tiba-tiba Romili membisikkan sesuatu di telinganya, wanita itu mengangguk seraya melepaskan senyum setuju.

 

*

Tepat di malam tahun baru angkringan Romi lebih ramai dari malam-malam biasanya. Kebetulan ada promo seru yang sedang berlangsung di sana. Bayar makan minimal 50ribu akan mendapatkan kalender gratis dari si pemiliknya. Romi memborong kalender 2023 yang dijual Taji.

Hampir 100 bundel kalender sudah dibawa pulang oleh para pembeli yang mendapatkan promonya. Romi berniat ingin memberi promo lain untuk para pelanggannnya di tahun depan dan tetap melibatkan Taji. Namun malam itu, saat Romili dan istrinya sedang membereskan peralatan jualannya, Taji muncul di depan rukonya.

 

“Om Romi, Taji mau pamit,”

 

“Loh, mau ke mana?” Romi bangkit dari posisi jongkoknya dan membasuh tangannya yang penuh sabun.

 

“Besok Taji mau pulang ke kampung ibu, Taji punya adik perempuan di sana, selama ini dijaga sama bulik. Taji juga diminta melanjutkan sekolah di kampung saja. Ini Taji punya 1 kalender lagi buat Om Romi.”

 

Tangan kecil Taji menyerahkan 1 bundel kalender, Romili menerimanya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian membiarkan anak laki-laki tangguh itu hilang dari pandangannya

 

Sampai di rumah, Romi membuka kalender yang diberikan Taji. Berbeda dengan kalender yang diberikan pada para pelanggannya. Kalender ini ada karikatur Romi dan istrinya disertai ucapan terima kasih. Bersama suara petasan di malam tahun baru ini, tangis Romi kembali jatuh lagi.




0 comments:

Posting Komentar