Lukisan Mama
![]() |
https://inet.detik.com/ |
Tepuk tangan puluhan orang terdengar riuh bersamaan dengan kepulan asap
dari lilin berbentuk angka 15 yang baru saja ditiup Nura. Rekan kerja ayah dan
keluarga besarnya datang sebagai tamu istimewa. Nura mendapatkan ciuman di pipi
kanan dan kiri dari Sato, ayahnya, dan Fatma, ibu sambungnya.
Sejak usia 2 bulan, Fatma mengurus Nura. Wanita itu benar-benar
memposisikan diri selayaknya ibu pada umumnya. Ia mengikat Nura dengan perhatian
dan kasih sayang. Sampai di usia Nura ke 5 tahun, ibu kandungnya, Lena, akhirnya
mengembuskan napas terakhirnya.
Fatma bukan nama sebenarnya. Nama asli wanita itu adalah, Anita. Fatma adalah
singkatan dari Fat Mama (ibu gemuk), nama yang disematkan Nura padanya sejak
wanita bertubuh besar itu --yang awalnya adalah baby sitter-nya-- beralih
menjadi istri sang ayah tepat dua tahun setelah ibunya meninggal dunia.
Bukan sekadar hal biologis yang ia butuhkan, namun bermodalkan kedekatan
yang tampak dari anak dan baby sitter-nya, Sato akhirnya memutuskan untuk
menikahi Fatma.
“Kado mana yang mau dibuka duluan, Nak?” tanya Fatma saat keduanya sudah
berada dalam kamar tidur Nura.
“Itu saja, Fatma,” tunjuk Nura pada sebuah bingkisan bersampul biru.
Bentuknya seperti pigura.
Fatma sedikit bersusah payah mengambilnya, beberapa tahun belakangan wanita
itu mulai mengeluhkan sakit pada kakinya, sehingga wanita itu menjadi sulit
bergerak leluasa.
“Dari Tante Inggit, Nak,” ucap Fatma setelah berhasil mengambil bingkisan
itu dan mencopot sebuah kartu ucapan yang disematkan.
Fatma membantu gadis itu membuka bingkisan dari sampulnya, sementara Nura
membaca pesan dalam kartu ucapannya yang dikirimkan sahabat mendiang ibunya itu.
“Selamat ulang tahun, Nura. Makin besar, wajahmu semakin mirip mendiang
mamamu. Tante kirimkan lukisan yang pernah tante buat saat mamamu masih sehat,
saat ada kamu dalam kandungannya. Semoga dia sudah bahagia di Surga. Salam
sayang, Tante Inggit.”
Nura cepat-cepat meletakkan kartu itu dan mengambil lukisannya dari
tangan Fatma. Gadis itu menatap gambar diri mamanya yang sangat cantik. Matanya
berkaca-kaca.
Fatma terdiam, ada sedikit cemburu tersirat di wajah itu.
Dalam rumah ini, Sato memang tidak memasang foto mendiang istrinya. Itu
permintaan Fatma. Sato pun meminta satu hal pada Fatma, agar mereka tak
memiliki anak lagi selain Nura. Kedua hal itu menjadi kesepakatan mereka sejak
awal menikah.
Satu-satunya foto Lena yang dimiliki Nura adalah tahun-tahun di mana wanita
itu sudah mulai sakit-sakitan. Kecantikan wanita itu memudar karena depresi
yang luar biasa.
“Boleh aku pasang lukisan ini di sini?” pinta Nura.
Fatma tak langsung menjawab. Ia bergeming sampai akhirnya Sato masuk dan
menangkap situasi yang canggung itu.
Sato meminta Nura untuk beristirahat, karena hari ini ia pasti sangat
lelah karena harus menghadapi puluhan tamu undangan di pestanya. Gadis itu pun mengangguk
pasrah. Ia masih tampak seperti gadis kecil yang tak punya hak bicara.
Kemudian sepasang suami istri itu meninggalkan Nura dalam kamar tidurnya.
“Rasanya tidak ada salahnya kita biarkan Nura memajang lukisan mamanya di
kamarnya. Dia sudah besar, kau tak akan kehilangan apa-apa darinya.” Sato
berusaha menenangkan istrinya
“Ya, mungkin aku terlalu takut,”
“Hanya lukisan, Sayang,”
“Baiklah,” Fatma pun mengalah.
“Lebih baik kita fokus pada pengobatan di kakimu, Sayang. Mungkin aku
akan ganti dokter lain. Rumah sakit itu payah. Padahal sudah internasional,
tapi mengurus sakit macam ini saja nggak becus.”
Fatma sangat beruntung memiliki suami seperti Sato yang sangat peduli
padanya. Sekali pun ia hanya seorang mantan baby sitter yang diangkat
derajatnya menjadi istri seorang pengusaha.
*
Sejak hari itu lukisan Lena dipasang di kamar Nura. Gadis itu jauh lebih
senang berlama-lama di kamar dari pada menghabiskan waktu di luar seperti
biasanya. Ia seakan menemukan sesuatu yang hilang dalam waktu lama. Perubahan sikap
Nura membuat Fatma mulai khawatir. Ia benar-benar tak ingin kehilangan
perhatian dari gadis itu. Namun, sebagai mantan baby sitter, ia punya cara
untuk melakukan pendekatan tanpa menimbulkan kecurigaan.
Selepas makan malam, Nura langsung masuk ke kamar tidur. Fatma menyusulnya
setelah merapikan meja makan.
“Hai, Nak. Sudah ngantuk?”
“Belum, sini, Fatma,” Ajak Nura saat melihat ibu sambungnya muncul dari
depan pintu kamar.
Fatma berjalan pelan, dibantu tongkat penyangga kakinya yang masih belum
juga sembuh.
“Sekarang Fatma susah mau ngobrol sama kamu, kamu di kamar terus,”
“Kapan pun Fatma mau ngobrol, aku ada kok.”
“Ya, mungkin perasaan Fatma saja, kamu mau menjauh. Maaf ya, Nak. Oh, ya,
Fatma mau tanya. Kamu rindu sama Mama Lena?”
“Hmmmm … dekat sama Fatma itu seperti obat rindu ke Mama Lena,”
Fatma terdiam, setelah mendengar kalimat itu ia sedikit merasa lega
karena artinya Nura tak akan menghempaskan dirinya begitu saja. Wanita itu pun
memutuskan untuk membiarkan Nura menikmati waktunya dalam kamar, karena itu tak
akan mengubah kasih sayang gadis kecil itu padanya.
“Ya sudah, Nura istirahat ya, Nak. Fatma ke kamar dulu.”
“Iya. Oh, ya, Fatma. Wajah mama Lena di lukisan ini mirip sama perempuan
yang berpegangan di kaki Fatma. Mungkin terlalu berat, makanya Fatma jadi sulit
berjalan. Tapi jangan disuruh pergi, ya. Biar Nura selalu dekat sama Mama.”
selesai
0 comments:
Posting Komentar