Sebuah blog yang berisikan tentang perjalanan wisata sejarah dan perjalanan kehidupan

Jumat, 23 Desember 2022

Lukisan Mama



https://inet.detik.com/



Tepuk tangan puluhan orang terdengar riuh bersamaan dengan kepulan asap dari lilin berbentuk angka 15 yang baru saja ditiup Nura. Rekan kerja ayah dan keluarga besarnya datang sebagai tamu istimewa. Nura mendapatkan ciuman di pipi kanan dan kiri dari Sato, ayahnya, dan Fatma, ibu sambungnya.

Sejak usia 2 bulan, Fatma mengurus Nura. Wanita itu benar-benar memposisikan diri selayaknya ibu pada umumnya. Ia mengikat Nura dengan perhatian dan kasih sayang. Sampai di usia Nura ke 5 tahun, ibu kandungnya, Lena, akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.

 

Fatma bukan nama sebenarnya. Nama asli wanita itu adalah, Anita. Fatma adalah singkatan dari Fat Mama (ibu gemuk), nama yang disematkan Nura padanya sejak wanita bertubuh besar itu --yang awalnya adalah baby sitter-nya-- beralih menjadi istri sang ayah tepat dua tahun setelah ibunya meninggal dunia.

Bukan sekadar hal biologis yang ia butuhkan, namun bermodalkan kedekatan yang tampak dari anak dan baby sitter-nya, Sato akhirnya memutuskan untuk menikahi Fatma.

 

“Kado mana yang mau dibuka duluan, Nak?” tanya Fatma saat keduanya sudah berada dalam kamar tidur Nura.

“Itu saja, Fatma,” tunjuk Nura pada sebuah bingkisan bersampul biru. Bentuknya seperti pigura.

Fatma sedikit bersusah payah mengambilnya, beberapa tahun belakangan wanita itu mulai mengeluhkan sakit pada kakinya, sehingga wanita itu menjadi sulit bergerak leluasa.

“Dari Tante Inggit, Nak,” ucap Fatma setelah berhasil mengambil bingkisan itu dan mencopot sebuah kartu ucapan yang disematkan.

Fatma membantu gadis itu membuka bingkisan dari sampulnya, sementara Nura membaca pesan dalam kartu ucapannya yang dikirimkan sahabat mendiang ibunya itu.

“Selamat ulang tahun, Nura. Makin besar, wajahmu semakin mirip mendiang mamamu. Tante kirimkan lukisan yang pernah tante buat saat mamamu masih sehat, saat ada kamu dalam kandungannya. Semoga dia sudah bahagia di Surga. Salam sayang, Tante Inggit.”

Nura cepat-cepat meletakkan kartu itu dan mengambil lukisannya dari tangan Fatma. Gadis itu menatap gambar diri mamanya yang sangat cantik. Matanya berkaca-kaca.

Fatma terdiam, ada sedikit cemburu tersirat di wajah itu.

Dalam rumah ini, Sato memang tidak memasang foto mendiang istrinya. Itu permintaan Fatma. Sato pun meminta satu hal pada Fatma, agar mereka tak memiliki anak lagi selain Nura. Kedua hal itu menjadi kesepakatan mereka sejak awal menikah.

Satu-satunya foto Lena yang dimiliki Nura adalah tahun-tahun di mana wanita itu sudah mulai sakit-sakitan. Kecantikan wanita itu memudar karena depresi yang luar biasa.

 

“Boleh aku pasang lukisan ini di sini?” pinta Nura.

Fatma tak langsung menjawab. Ia bergeming sampai akhirnya Sato masuk dan menangkap situasi yang canggung itu.

Sato meminta Nura untuk beristirahat, karena hari ini ia pasti sangat lelah karena harus menghadapi puluhan tamu undangan di pestanya. Gadis itu pun mengangguk pasrah. Ia masih tampak seperti gadis kecil yang tak punya hak bicara.

Kemudian sepasang suami istri itu meninggalkan Nura dalam kamar tidurnya.

 

“Rasanya tidak ada salahnya kita biarkan Nura memajang lukisan mamanya di kamarnya. Dia sudah besar, kau tak akan kehilangan apa-apa darinya.” Sato berusaha menenangkan istrinya

“Ya, mungkin aku terlalu takut,”

“Hanya lukisan, Sayang,”

“Baiklah,” Fatma pun mengalah.

“Lebih baik kita fokus pada pengobatan di kakimu, Sayang. Mungkin aku akan ganti dokter lain. Rumah sakit itu payah. Padahal sudah internasional, tapi mengurus sakit macam ini saja nggak becus.”

 

Fatma sangat beruntung memiliki suami seperti Sato yang sangat peduli padanya. Sekali pun ia hanya seorang mantan baby sitter yang diangkat derajatnya menjadi istri seorang pengusaha.

 

*

Sejak hari itu lukisan Lena dipasang di kamar Nura. Gadis itu jauh lebih senang berlama-lama di kamar dari pada menghabiskan waktu di luar seperti biasanya. Ia seakan menemukan sesuatu yang hilang dalam waktu lama. Perubahan sikap Nura membuat Fatma mulai khawatir. Ia benar-benar tak ingin kehilangan perhatian dari gadis itu. Namun, sebagai mantan baby sitter, ia punya cara untuk melakukan pendekatan tanpa menimbulkan kecurigaan.

Selepas makan malam, Nura langsung masuk ke kamar tidur. Fatma menyusulnya setelah merapikan meja makan.

“Hai, Nak. Sudah ngantuk?”

“Belum, sini, Fatma,” Ajak Nura saat melihat ibu sambungnya muncul dari depan pintu kamar.

Fatma berjalan pelan, dibantu tongkat penyangga kakinya yang masih belum juga sembuh.

 

“Sekarang Fatma susah mau ngobrol sama kamu, kamu di kamar terus,”

“Kapan pun Fatma mau ngobrol, aku ada kok.”

“Ya, mungkin perasaan Fatma saja, kamu mau menjauh. Maaf ya, Nak. Oh, ya, Fatma mau tanya. Kamu rindu sama Mama Lena?”

“Hmmmm … dekat sama Fatma itu seperti obat rindu ke Mama Lena,”

Fatma terdiam, setelah mendengar kalimat itu ia sedikit merasa lega karena artinya Nura tak akan menghempaskan dirinya begitu saja. Wanita itu pun memutuskan untuk membiarkan Nura menikmati waktunya dalam kamar, karena itu tak akan mengubah kasih sayang gadis kecil itu padanya.

 

“Ya sudah, Nura istirahat ya, Nak. Fatma ke kamar dulu.”

“Iya. Oh, ya, Fatma. Wajah mama Lena di lukisan ini mirip sama perempuan yang berpegangan di kaki Fatma. Mungkin terlalu berat, makanya Fatma jadi sulit berjalan. Tapi jangan disuruh pergi, ya. Biar Nura selalu dekat sama Mama.”



selesai


0 comments:

Posting Komentar